Thursday, December 26, 2013

JOGJA berhenti NYAMAN

Siang ini aku melihat sebuah poster pameran fotografi di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) berjudul "Jogja Berhenti Nyaman". Unik juga pikirku, dan kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, bahwa kini gambaran Jogja tak seperti  slogannya "Jogja Berhati Nyaman".

Kesemrawutan Jogja tak luput dari liputan media massa, Tempo.co memberitakan hal ini. Tidak hanya itu, dalam berita itu juga menyebutkan bahwa Jogja kini dinilai tidak bisa lagi melindungi budayanya sendiri. 
(lihat: http://www.tempo.co/read/news/2013/12/26/162540150/Yogya-Tak-Lagi-Nyaman-dalam-Foto ).

Aku memang belum dua tahun tinggal di Yogyakarta, tapi aku cukup merasakan kesesakan Yogyakarta yang semakin lama semakin terasa. Hal ini aku rasakan ketika Tahun Ajaran Baru. Banyaknya pendatang / mahasiswa dari luar kota yang baru masuk Yogyakarta mungkin salah satu faktor yang membuat Yogyakarta semakin ramai. Tidak hanya itu, coba perhatikan kendaraan yang lewat di jalan-jalan di Jogja, Aku melihat di Jogja plat nomornya lebih beragam, tidak seperti di kota asalku yang lebih banyak plat "B". Mungkin karena Yogyakarta kota tujuan wisata. 

Tidak hanya masalah kemacetan, kenyamana para turis asing dan domestik juga terganggu dengan adanya pengamen dan pengemis yang datang silih berganti tak ada habisnya. Hebatnya, pengamen dan pengemis ini justru berkeliaran di pusat keramaian seperti di sepanjang jalan Malioboro. Tak jarang pengunjung yang sedang menikmati makanan harus sedikit terganggu dengan adanya para pengamen dan pengemis itu. Kehadiran guide yang memaksa dan tukang becak yang memaksa juga kadang meresahkan wisatawan. 

Ya memang itu cara mereka mencari nafkah, tapi adakah cara yang tidak mengganggu orang lain selain memaksa dan meminta-minta? 


1 comment:

Unknown said...

ganti template nih ceritanya feb :D ??