Friday, December 30, 2016

7 Tahun Haul Gus Dur: Merefleksikan Kembali Ajaran Gus Dur


(Sumber Foto: Kompas.com)

       Menjelang akhir tahun 2016 menjadi hari-hari yang cukup melelahkan bagi bangsa ini. Peristiwa demi peristiwa telah menyita cukup banyak perhatian masyarakat, seperti provokasi, ujaran kebencian, kalimat-kalimat tendensi, berita palsu (
Hoax), dan makian, telah mewarnai lini masa media sosial. Tidak jarang satu sama lain saling menghapus pertemanan hanya karena perbedaan pandangan. Menjamurnya ahli agama dan ahli tafsir dadakan, hadir seakan-akan kemampuannya melebihi seorang agamawan, dan masyarakat seolah menikmati perdebatan soal agama yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan.

Pada tanggal 23 Desember 2016 telah diselenggarakan peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur di kediaman Keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Kegiatan tersebut dihadiri beberapa tokoh nasional seperti Presiden RI Joko Widodo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Gatot Nurmantyo,  Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Calon Gubernur DKI Jakarta; Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama, dan Anis Baswedan, serta para tokoh agamawan seperti Ketua NU Said Aqil Siroj, Ketua KWI Ignatius Suharyo, Pendeta SAE Nababan, Perwakilan dari Umat Budha Banthe Suryanadi Mahatera, Perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia Yanto Jaya, serta kelompok penghayat kepercayaan.

          Peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur nampak menjadi angin segar ditengah hiruk-pikuknya kondisi bangsa yang dinamis. Melalui peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur tersebut kita diajak mengingat kembali sosok yang selalu menyerukan sikap inklusif dan pentingnya dialog antar umat beragama. Peringatan tersebut penting untuk dijadikan momentum bagi kita secara pribadi untuk introspeksi diri apakah kita sudah cukup baik sebagai manusia yang beragama?, atau justru lebih buruk dari mereka yang tidak beragama? Apakah semata-mata beragama itu justru hanya membela agama saja, bukan membela mereka yang tertindas oleh penguasa atau mayoritas? Tentu kita juga harus bertanya kepada diri sendiri apakah selama hidup ini kita bermanfaat bagi orang lain, terutama dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita? Pertanyaan inilah yang harus kita tanyakan pada hati nurani masing-masing pribadi.

Kini tujuh tahun sudah Gus Dur tiada, hingga saat ini belum ada lagi sosok yang sama apalagi melebihi kelucuan Gus Dur menghadapi persoalan bangsa yang kian semrawut. Tujuh tahun sudah seorang Guru Bangsa telah pergi. Tokoh yang mengajarkan indahnya toleransi, serta memandang kemajemukan bukan sebagai halangan, melainkan rahmat dari Tuhan yang harus disyukuri. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan, bukanlah sebuah ketakutan yang harus dijauhi. Ubah segala bentuk ungkapan kebencian dan menjembatani perbedaan pandangan dengan dialog yang menyejukkan. Bukankah itu yang menjadi cita-cita Gus Dur dan kita semua sebagai bangsa yang majemuk? 


                                                                                                             

No comments: