Akankah Sejarah Tercipta? Atau Hanya Sebatas Wacana?
Sikap ‘nasionalisme’ seseorang memang
akan tumbuh jika ‘zona nyaman’ mereka mulai terusik atau mendapat ancaman dari
lain pihak. Perasaan inilah yang kini dialami mahasiswa filsafat di salah satu
perguruan tinggi di Indonesia. Mereka ingin membentuk sebuah lembaga yang
menaungi para mahasiswa seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa. Memang di fakultas
tersebut untuk saat ini tidak ada organisasi semacam BEM / LEM atau DEMA. Dulu
memang sempat ada, namun dibekukan hingga sekarang. Kini semangat untuk membentuk
organisasi semacam itu kembali menggebu-gebu. namun kini sebuah Forkom.
Berawal dari aksi penolakkan PEMIRA
(Pemilihan Raya Mahasiswa) yang dianggap memiliki sistem yang salah. Bukan cara
PEMIRA yang salah melainkan sistem dari BEM sendirilah yang dianggap mereka
salah. Karena PEMIRA merupakan salah satu produk BEM, maka mereka (mahasiswa
filsafat) menolaknya. Mahasiswa filsafat
menginginkan perubahan sistem yang ada sekarang untuk kembali seperti dulu.
Artinya menolak kata “Eksekutif” dan penggunaan kata “Presiden” serta
kewenangannya sebagai presiden mahasiswa. Mahasiswa filsafat ingin kembali
seperti dulu yang dimana tidak ada sistem kepartaian dan kembali kepada nama
“Dewan Perwakilan Mahasiswa” bukan “Badan Eksekutif Mahasiswa”.
Bentuk Penolakan Mahasiswa Filsafat |
Dewan Perwakilan Mahasiswa terdiri
dari anggota-anggota yang terdiri dari perwakilan tiap fakultas yang dimana setiap
keputusan disetujui bersama, BUKAN di tangan presiden mutlak. Namun menurut
sumber lain, presiden mahasiswa juga tidak berarti semata-mata ‘berkuasa’,
sebab semua sudah diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh Senat Mahasiswa.
Satu hal yang disayangkan oleh
teman-teman filsafat terhadap PEMIRA kali ini adalah, fakultas filsafat menjadi
satu-satunya fakultas yang tidak didatangi saat Tour De Faculties. Tour De
Faculties merupakan bagian rangkaian acara yang dimana para capresma berkampanye
menyampaikan visi misi mereka masing-masing. Para mahasiswa filsafat merasa, bagaimana
mereka tahu calon presidennya siapa saja, serta apa saja visi misi mereka kedepan
kalau Tour De Faculties saja tidak diadakan di fakultas filsafat. Bagaimana
mereka mau merangkul seluruh mahasiswa kalau satu fakultas saja tidak
didatangi? Mungkin bagi mereka fakultas filsafat hanya dianggap seperti lahan
kosong kecil dengan sedikit bangunan kunonya yang seperti tak terurus. Padahal filsafat
sedang mencoba untuk membuka diri kepada PEMIRA untuk mendengarkan visi misi
mereka.
Kini, sebuah forkom sedang
direncanakan akan segera dibentuk untuk memperjuangkan suara para mahasiswa
filsafat yang dibangun atas dasar cita-cita bersama untuk mengubah itu semua
dan mencoba membangkitkan lagi organisasi kemahasiswaan yang telah lama mati.
Mahasiswa filsafat menepis anggapan orang-orang bahwa mereka apatis. Ini bukan
sikap apatis, namun sikap peduli. Saking pedulinya hingga para mahasiswa
filsafat ini terasa seperti terasingkan demi sebuah kebenaran. Sekarang
pertanyaannya, akankah sejarah tercipta? Atau hanya wacana yang semangatnya
sungguh luar biasa disaat seperti ini saja? Ya, semoga tidak hanya menjadi “anget2
tai ayam”. (FLAIsFebri)