Sunday, May 14, 2017

Tragedi 98 Harus Dijadikan Pelajaran Bagi Bangsa Indonesia

Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, mengatakan bahwa Tragedi Mei 98 seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Hal itu disampaikan Azriana pada peringatan Tragedi Mei 98, Senin (8/5) lalu di Tempat Pemakaman Umum (TPU), Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

“Apa yang terjadi dalam kerusuhan Mei 98 memperlihatkan, ketika sentimen etnis dimainkan dan perpecahan terjadi karenanya, maka yang akan menjadi korban bukan saja warga masyarakat dari etnis yang disasar, tetapi juga warga masyarakat lainnya,” katanya pada sambutan pembuka peringatan Tragedi Mei 98 yang dihadiri oleh Presiden RI ke-3, BJ Habibie dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat.

Menurut Azriana peringatan Tragedi Mei 98 masih relevan jika melihat kondisi saat ini, khususnya ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sekelompok orang menyalahgunakan ingatan tentang Tragedi Mei 98 untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan mengancam Etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Kota Tanjung Balai beberapa waktu lalu.

“Bagi warga Etnis Tionghoa, Tragedi Mei 98 hingga saat ini masih menyisakan trauma yang mendalam,” ujar Azriana di depan keluarga korban kerusuhan Mei 98.

Oleh karena itu peringatan Tragedi Mei 98 menjadi penting bukan hanya sebagai ritual tahunan, tetapi juga menjadi ruang pemulihan korban dan memperkuat rekonsiliasi yang menjadi korban dari tragedi tersebut. Tentunya juga menjadi pembelajaran agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Hari ini, tepat 19 tahun lalu, bangsa Indonesia telah mencatat sejarah kelam. Suasana di Jakarta berubah menjadi mencekam,  kerusuhan disertai pembakaran dan penjarahan terjadi dimana-mana. Tempat perbelanjaan dan perkantoran tidak luput dari amukan massa.

Dilansir dari pusat data Republika (15/5/98), setidaknya 484 gedung 393 kendaraan hancur, serta ratusan penjarah diamankan. Rinciannya, gedung yang dirusak massa terbanyak terdapat di Jakarta Barat yaitu sebanyak 255 buah, 74 bangunan di Jakarta Pusat, 141 gedung di Jakarta Utara, dan empat gedung di Jakarta Selatan. Selain itu 213 kendaraan roda empat, dan 180 kendaraan roda dua habis terbakar.

Empat mahasiswa Trisakti gugur dalam kerusuhan tersebut pada 12 mei 1998, antara lain Hari Hariyanto (Mahasiswa Teknik Industri), Elang Mulya (Mahasiswa Teknik Arsitektur), Hafidin Royan, Hendriawan (Mahasiswa Ekonomi). Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 98 juga mencatat 85 perempuan Etnis Tionghoa mengalami kekerasan seksual.

Komnas Perempuan berharap pengusutan sejumlah kasus pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran yang terjadi pada 12, 13, 14, 15 Mei 1998 menemukan titik terang dalam penyelesaiannya. 


Minggu 14 Mei 2017

Thursday, May 4, 2017

Rumah Tuan Tanah Cimanggis, Riwayatmu Kini


Rumah Cimanggis
Depok menyimpan banyak teka-teki yang masih belum terjawab terkait asal-usul daerahnya. Sebagai kota yang sudah 18 tahun berdiri, belum ada kesepakatan untuk menetapkan tentang bagaimana perjalanan Depok dari pertama kali ditemukan hingga kemudian berkembang menjadi sebuah kota hingga saat ini.

Informasi dan literatur yang menjelaskan secara runut sejarah kota yang terkenal dengan buah Belimbing tersebut, sampai saat ini belum terinventarisasi secara lengkap. Termasuk informasi mengenai sejarah rumah-rumah bergaya Belanda di Depok. Salah satu bangunan rumah bergaya Belanda yang tersisa yang menyimpan kisah dan menjadi saksi dalam perjalanan Kota Depok adalah rumah tuan tanah Cimanggis.

Rumah tuan tanah Cimanggis atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan Landhuis Tjimanggis, berlokasi di Jalan Raya Bogor KM. 34 Komplek Radio Republik Indonesia (RRI) RT 001/01, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ketua Depok Heritage Community (DHC), Ratu Farah Diba, ketika ditemui oleh penulis di rumahnya, mengatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah Adriana Johanna Bake, istri kedua Gubernur Jenderal Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC) (1761 – 1775) yang terkenal sangat kaya, Albertus van de Parra.

“Rumah Cimanggis ini adalah rumah Johana, yaitu istri kedua Albertus van de Parra, Jadi sama istrinya ini, rumah Cimanggis bukan dijadikan rumah utama, tetapi rumah peristirahatan,” katanya membuka perbincangan di halaman rumahnya di dekat kolam yang penuh dengan ikan.
Rumah Cimanggis 2011
Rumah Cimanggis 1930















Depok tempo dulu (bahkan hingga saat ini) adalah sebuah daerah yang lokasinya amat strategis. Letaknya yang berada diantara Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta), menjadikan Depok sebagai kawasan yang tepat untuk beristirahat setelah perjalanan jauh dari Buitenzorg menuju Batavia atau sebaliknya.

Hal itu tampaknya disadari betul oleh Albertus van de Parra. Dengan kekayaan yang ia punya, Parra membeli lahan tersebut dari pemilik lahan sebelumnya, yaitu Cornelis Chastelein (1657-1714), seorang mantan Gubernur VOC yang menjadi orang pertama yang membuka lahan hutan di Depok dan mempekerjakan budak-budak yang nantinya ia merdekakan setelah ia wafat, dan diberi otonomi untuk membentuk pemerintahan sendiri.

Albertus van de Parra kemudian memanfaatkan lahan tersebut sebagai pusat usaha pembukaan lahan hutan antara Jakarta dan Bogor pada abad ke-18. Ia mempekerjakan budak-budak untuk menggarap semua lahan perkebunan yang ia punya. Parra tidak hanya dikenal sebagai seorang tuan tanah yang memiliki kebun karet yang sangat luas, ia juga dikenal karena perilakunya yang korup.

Pada 28 Desember 1775 Albertus van de Parra kemudian wafat. Pasca wafatnya Parra, Johanna pun menjanda. Dalam buku yang ditulis Adolf Hueken berjudul Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1997) mengatakan bahwa rumah Cimanggis baru dibangun oleh David J. Smith pada tahun 1775 – 1778 sebagai rumah kedua Johanna. Artinya tepat di tahun Parra wafat, rumah tersebut baru dibangun.

Johanna juga dikenal sebagai pemilik Pasar Cimanggis (yang saat ini dikenal dengan Pasar Pal) yang saat itu dijadikan pos penting untuk beristirahat dan bertukar kuda bagi yang melakukan perjalanan antara Batavia dan Buitenzorg.

1930

Setelah Johanna meninggal, rumah tersebut diwariskan kepada Smith. Namun karena terlilit hutang yang tak kunjung dibayar, akhirnya rumah tersebut disita. Semenjak abad ke-19, rumah tersebut berganti-ganti pemilik. Di tahun 1997, rumah tersebut pernah ditempati oleh pegawai RRI, namun hingga kini rumah dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Rumah Cimanggis perlahan-lahan mengalami kerusakan fisik pada bangunannya akibat dimakan usia dan pengaruh cuaca. Dalam bukunya, Hueken juga mencatat rumah Cimanggis juga pernah mengalami kerusakan parah di tahun 1843 akibat gempa bumi hebat yang juga merusak bangunan Istana Bogor pada waktu itu.

Saat ini kondisi rumah tersebut sudah sangat memperihatinkan. Farah bercerita bahwa terakhir kali ia mengunjungi rumah tersebut yaitu pada tahun 2016 lalu. Ia mengatakan bahwa rumah tersebut saat ini terlihat banyak kerusakan dimana-mana.

“Saat ini kerusakan rumah tersebut sudah mulai merambat, ornamennya sudah banyak yang hilang, seperti pintu, jendela. Pilar kembar yang ada di rumah tersebut tampak sudah ambruk satu, yang kanan saat ini sudah gak ada, adanya tinggal yang kiri,” tuturnya..

Saat ini rumah tuan tanah Cimanggis sudah berusia lebih dari 200 tahun, melihat penelantaran rumah tersebut tampaknya belum ada keseriusan dari Pemerintah Kota Depok untuk melindungi rumah tuan tanah yang memiliki nilai sejarah tersebut. Padahal menurut Perda DKI No. 9 Tahun 1999, sebuah bangunan yang setidaknya berusia 50 tahun bisa dikategorikan sebagai cagar budaya. Selain itu payung hukum lainnya terlihat dalam undang-undang 11 No. 2010 tentang cagar budaya, yang menjelaskan tentang melindungi rumah yang memiliki nilai sejarah.

Permintaan untuk segera dijadikan sebagai bangunan cagar budaya tampaknya menemui jalan buntu. Farah menjelaskan bahwa DHC sebenarnya sudah mengupayakan berbagai cara agar rumah Cimanggis dapat segera dijadikan bangunan bersejarah, namun pemerintah kota memiliki pemahaman yang berbeda dengan apa yang dimaksud di dalam undang-undang cagar budaya tersebut.

Pilar-pilar Serambi Depan
“Jadi di otak pemerintah ini bahwa kalau kita ingin menetapkan itu bangunan bersejarah sebagai cagar budaya, harus menjadi aset pemerintah dulu. Jadi mau gak mau mereka harus beli,” tutur wanita yang gemar bersepeda onthel tersebut.

Farah menambahkan, Padahal jika dilihat pada pasal 12 undang-undang cagar budaya, kepemilikan itu tidak hanya pemerintah, bisa siapa aja, bahkan bisa perorangan dan bisa yayasan. Tugas pemerintah hanyalah menetapkan cagar budaya atas usulan dari tim ahli cagar budaya.

Dulu sebelum undang-undang cagar budaya tahun 1992 belum diubah, pengajuan cagar budaya ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) bangunan cagar budaya yang menetapkan adalah pihak BPCB, namun kini harus melalui tim ahli cagar budaya yang dibentuk oleh pemerintah kota. Sedangkan kendalanya bagi Depok sendiri, Depok belum memiliki tim ahli cagar budaya.

“Nah ini yang kita juga belum punya, tim ahli cagar budaya tingkat kota dan provinsi. Makanya kalau tim ahli ada, pemerintah perannya adalah menetapkan atas usulan dari tim ahli tersebut,” jelas Farah.
Oleh karena itu Farah berharap agar upaya-upaya penyelamatan heritage harus lebih sering diekspos agar pemerintah mau segera menyelamatkan peninggalan bersejarah, yaitu dengan cara membuat karya tulis mengenai sejarah Depok.

“Saya suka mengusulkan kepada sekolah-sekolah, semakin banyak mereka buat karya tulis, itu kan makin diangkat, kalau enggak kan akan mati gitu aja seperti  yang sudah-sudah,” ujarnya.

Saat ini belum banyak karya tulis yang menggali tentang sejarah mengenai rumah Cimanggis tersebut. Berdasarkan penelusuran penulis, hanya ada beberapa orang yang meneliti mengenai rumah Cimanggis tersebut, yaitu Adolf Hueken (1997) dan Ellyza Tri Kurnia (2015), seorang sarjana Arsitektur Universitas Indonesia yang secara khusus meneliti tantang bentuk rumah Cimanggis melalui perspektif ilmu arsitektur.

Dalam tugas akhirnya tersebut, Ellyza juga berharap agar rumah Cimanggis segera dijadikan cagar budaya dan nantinya dapat difungsikan menjadi museum di kemudian hari. Namun meskipun begitu, Farah mengakui Depok masih jauh untuk bisa memiliki museum sejarah kotanya, melihat persyaratan-persyaratan pembuatan museum yang tidak mudah dan artefak-arefak yang hilang akibat peristiwa masa lalu, membuat Farah pesimis Depok memiliki museum yang menceritakan sejarah Kota Depok dalam waktu dekat.

“Kalaupun Depok ada museum, apa yang ingin kita pamerkan? Foto? Itupun scan dari arsip nasional. Jadi masih jauh kita kesana. Menetapkan sejarah Depok saja belum,  apalagi membangun museum? kayaknya masih jauh langkahnya,” ungkap Farah.

Meskipun begitu, Farah berharap pemerintah harus lebih memperdalam pemahaman lagi mengenai undang-undang cagar budaya. Tidak harus dimiliki pemerintah, karena dengan adanya peraturan daerah itu sudah menjadi payung hukum.

Selain itu menurut Ellyza, jika dilihat dari nilai sejarahnya, rumah tuan tanah Cimanggis layak dilestarikan karena menjadi saksi bisu sejarah pembukaan hutan antara Jakarta dan Bogor, tempat tinggal dari salah satu anggota keluarga Gubernur Jenderal VOC yang juga merupakan pemilik pasar Cimanggis, berkisah tentang buruh tani, dan budak belian yang membuka hutan dan rawa-rawa di sekitar Batavia. (Febrianto Adi Saputro)




Sumber Foto: Laporan Rumah Cimanggis Ellyza Tri Kurnia

Wednesday, May 3, 2017

Belajar dari Kesederhanaan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara & Istri Berfoto Bersama Ir. Soekarno dan  Prof. Sardjito usai pemberian gelar Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) 19 Desember 1956 


Ing Ngarsa Sung Tulada

Ing Madya Mangun Karsa

Tutwuri Handayani

Adalah sebuah trilogi yang dicetuskan oleh salah satu organisasi yang menjadi pelopor pendidikan di Indonesia. Salah satu tokoh penting yang muncul dibalik trilogi tersebut adalah Ki Hadjar Dewantara, atau yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.

“Ki Hadjar Dewantara” bukanlah sebuah nama yang telah ada sejak lahir. Nama ”Ki Hadjar Dewantara” sendiri baru muncul ketika usianya memasuki 40 tahun. Sewaktu kecil hingga masa mudanya, ia lebih dikenal dengan nama RM Soewardi Suryaningrat.

Soewardi Suryaningrat lahir di Pakualaman 2 Mei 1889. Ia merupakan seorang keturunan bangsawan, yaitu cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Soerjo Sasraningrat (Paku Alam ke III), dan ayahnya bernama G.P.H. Soerjaningrat.

Meskipun Soewardi Suryaningrat berasal dari kalangan ‘darah biru’, namun ia merasa tidak nyaman dengan adanya gelar pada namanya tersebut. Setidaknya hal itu ia rasakan setelah ia membentuk sebuah yayasan pendidikan yang dinamakan Taman Siswa pada tahun 1922. Menurutnya, gelar tersebut mengganggu interaksinya dengan siswa-siswa, sehingga ia memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya itu dan akhirnya memilih memakai nama Ki Hadjar Dewantara.

Tidak hanya itu, dalam sebuah kongres, Ki Hadjar Dewantara berpidato bahwa siapa saja yang berada di dalam lingkungan Taman Siswa, yang memiliki gelar harus dihilangkan. Bahkan sampai nama istri Ki Hadjar Dewantara pun juga ikut berubah, yang tadinya bernama Raden Ajoe Soetartinah kemudian berubah menjadi Nyi Hadjar Dewantara. Sampai saat ini, sebutan “Ki” dan “Nyi” masih berlaku bagi seluruh pengurus Taman Siswa di seluruh Indonesia.   

Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara diakui kehebatannya oleh berbagai pihak, salah satunya juga diakui dan diterapkan oleh Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Pengakuan tersebut diperkuat dengan pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan tiga tahun lalu dalam pidatonya bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”, yang mengatakan bahwa adanya kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu menempatkan pendidikan secara proporsional, kesetaraan pendidikan bagi semua rakyat, menolak standarisasi kaku dan berlebihan karena dianggap menjadi musuh kreatifitas, serta mendukung aktifitas bermain sebagai tuntutan jiwa anak.

Berbicara mengenai Ki Hadjar Dewantara tidaklah melulu soal konsep pendidikannya. Ada hal lain yang bisa digali dari sosok Ki Hadjar Dewantara, salah satunya adalah teladan akan kesederhanaan.
Dari kisah di atas terlihat bagaimana kesederhanaan Ki Hadjar Dewantara yang memilih untuk menyamakan kedudukannya dengan murid-muridnya yang rata-rata adalah anak petani, dan anak guru. Ki Hadjar Dewantara melepaskan segala bentuk kemewahan keturunan bangsawan yang ia peroleh agar bisa lebih dekat dengan murid-muridnya.

Contoh lain dari kesederhanaan seorang Ki Hadjar Dewantara adalah ketika ia memutuskan untuk menghibahkan rumah miliknya untuk diajdikan sebuah museum. Menurut penuturan Staff Teknis dan Pemandu Museum Dewantara Kirti Griya (Museum DKG), Agus Purwanto, menyebutkan Rumah yang saat ini menjadi lokasi Museum DKG tersebut awalnya dibeli dari seorang janda yang suaminya dulu berasal dari Eropa.

Pada saat itu Taman Siswa sedang berkembang pesat, hal itu menyebabkan rumah Ki Hadjar Dewantara yang berada di Jalan Tanjung (kini menjadi Jalan Gadjah Mada) tidak lagi muat menampung para siswa. Sehingga pertimbangan itulah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara memutuskan membeli sebuah rumah dengan lahan yang luas. Di atas lahan itulah kemudian dibangun sebuah pendopo, dan dibuatkan persekolahan yang dijadikan satu komplek.

Rumah tersebut secara resmi ditempati pada tahun 1938 oleh Ki Hadjar Dewantara dan keluarganya. Ki Hadjar Dewantara terus mengembangkan Taman Siswa hingga akhirnya ia wafat pada 26 April 1959. Taman Siswa kemudian diteruskan oleh istrinya, yaitu Nyi Hadjar Dewantara yang menjadi pimpinan pusat Taman Siswa hingga akhir hayatnya 16 April 1971. Pada akhirnya rumah tersebut diresmikan sebagai museum pada 2 Mei 1970 oleh Presiden Kedua Indonesia, Soeharto.

Sepeninggal Nyi Hadjar Dewantara, Museum diserahkan kepada Persatuan Taman Siswa. Uniknya, tidak ada satupun keturunan dari Ki Hadjar Dewantara masuk ke dalam pengurus yayasan Taman Siswa, baik sebagai anggota maupun pimpinan. Hal itu dibenarkan oleh Agus Purwanto.
“Tidak ada keturunan Ki Hadjar Dewantara yang jadi pimpinan Taman Siswa. Rupanya itu sudah dikehendaki oleh Ki Hadjar Dewantara, beliau tidak menginginkan itu,” ujar pria yang sudah bekerja di Museum DKG sejak tahun 1993 tersebut.

Entah apa yang ada dipikiran Ki Hadjar Dewantara saat itu sehingga memilih untuk tidak mewariskan Taman Siswa kepada keluarganya dan lebih memilih menyerahkan kepada yayasan Taman Siswa. Padahal Ki Hadjar Dewantara adalah keluarga besar yang memiliki banyak anak, namun ia tidak sampai memikirkan keturunannya harus menjabat di Taman Siswa, bahkan ia pun rela menghibahkan rumahnya tersebut untuk dijadikan museum.

Pada 2015 silam, terdengar kabar bahwa Pemerintah Belanda ingin mengabadikan nama Ki Hadjar Dewantara menjadi nama jalan di negara kincir angin tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak baik oleh pihak Yayasan Taman Siswa maupun oleh pihak keluarga.

Agus bercerita, Ki Hadjar Dewantara pernah berpesan bahwa ia tidak ingin namanya digunakan sebagai nama bangunan, nama gedung, maupun nama jalan. Ki Hadjar Dewantara khawatir hal tersebut dimaksudkan untuk mengkultuskan seseorang. “Prinsipnya Ki Hadjar Dewantara melarang nama beliau dipakai untuk apa saja,” kata Agus.

Selain kesederhanaannya, Ki Hadjar Dewantara juga dikenal sebagai sosok yang humoris. Meskipun ia seorang yang tegas, dan keras, namun ada sisi humoris yang terselip dalam pribadi Ki Hadjar Dewantara.

Suatu hari Ki hadjar Dewantara sedang mencangkul di sekitaran rumahnya, saat itu ia hanya mengenakan sarung dan berkaos oblong. Tiba-tiba ada seorang tamu datang dan ingin bertemu dengan Ki Hadjar Dewantara. Tamu tersebut tidak mengetahui bahwa yang menjadi lawan bicara ketika itu adalah orang yang ia cari. Maka dengan segera Ki Hadjar Dewantara menyuruh tamu tersebut menunggu. Kemudian Ki Hadjar Dewantara masuk dan berganti pakaian untuk menemui tamu tersebut.

Cerita tersebut diperoleh Agus dari Nyi Iman Sudiyat, salah satu saksi sejarah yang masih sering menceritakan kembali kesehariannya dulu bersama Ki Hadjar Dewantara. Nyi Iman Sudiyat adalah teman dari putri Ki hadjar Dewantara sewaktu masih tinggal di pondok Taman Siswa dulu.
“Waktu itu ruangan perpustakan tersebut adalah pondokan putri,” cerita Agus seraya menunjuk bangunan perpustakaan.

Tentu masih banyak lagi inspirasi yang bisa diperoleh dari seorang Ki hadjar Dewantara. Selain semangatnya dalam melawan penindasan terhadap penjajahan, kesederhanaan dalam diri beliau patut diteladani. Persis seperti bunyi salah satu triloginya Ing Ngarsa Sung Tulada yang artinya “Di Depan Memberi Contoh”. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya memberi contoh, tetapi justru menjadi contoh bagi banyak orang. (Febrianto Adi Saputro)