Monday, January 13, 2014

Petisi Untuk Bapak Wali Kota Depok Tercinta, Nur Mahmudi Ismail


 
Jika berkunjung ke blog ini, mohon bantu sebar dan dukung petisi ini yang mendukung pemerintah Kota Depok agar lebih  peduli terhadap bangunan bersejarah di Kota Depok, salah satunya yang butuh perhatian adalah Rumah Cimanggis. Terima kasih yang telah mendukung dan ikut membantu menyebarkan

Friday, January 10, 2014

Bukan Sebuah Kebetulan


Nampaknya bukan sebuah kebetulan aku tidak jadi kuliah di Rawasari waktu  itu,
 
sebab Kau memberikan aku kesempatan bekerja sebagai banquet dan pelayan di Hokben kala itu.

Bukan sebuah kebetulan aku dapat kuliah di UGM,

sebab bukan sebuah kebetulan juga aku dapat beasiswa selama 2 tahun disini.

Semua karena kekuatanMu ya Tuhan, Kau cukupkan segala kebutuhanku




Nampaknya bukan sebuah kebetulan aku masuk Fakultas Filsafat UGM.

Kenapa? Sebab aku menyukai sastra, sejarah, seni, dan budaya.

Ternyata itu semua ada di Filsafat, apalagi ini di Yogyakarta, kota yang kaya akan seni dan budaya!

Tuhan tahu apa yang aku suka, Tuhan tahu apa yang aku mau.

Oleh karena itu Kau bawa aku kesini, ini karena kuasaMu




Bukan sebuah kebetulan kau tempatkan aku jauh dari rumah.

Selama disini aku jadi tahu betapa pentingnya arti sebuah orang tua, adik-adik, dan keluarga.

Bukan juga sebuah kebetulan kau bawa aku kesini,

sebab kau pertemukan aku dengan teman-teman yang luar biasa baik, pengertian, dan mau membimbing

Bukan sebuah kebetulan aku mengenalMu

JalanMu memang sulit ditebak, tapi indah, dan aku suka Tuhan. aku ingin selalu mengikuti jalanMu.

Wednesday, January 8, 2014

Evolusi Selera Musik Febrianto dari Masa ke Masa

Saat sedang melamun (melamuni kamu hehe), tiba-tiba muncul ide untuk bercerita tentang evolusi musik yang terjadi dalam hidup saya (bahasannya sok berat). Tapi pertama-tama, saya coba jelasin dulu kenapa judulnya evolusi, dan kenapa bukan revolusi atau resolusi? Jadi begini, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara terminologis, “evolusi” itu artinya proses perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dan singkat (meskipun gak sesingkat masak Indomie). Sedangkan kalau “revolusi” itu butuh rentang waktu yang lama. Begitu juga perubahan selera musik saya yang alami. Setelah merefleksikan diri, saya menangkap suatu kesimpulan, ternyata selera musik saya mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan musik sangat mempengaruhi saya ketika itu sampai saat ini. Sebelumnya, mungkin yang saya ceritakan disini adalah evolusi selera musik yang terjadi pada diri saya khususnya berkisar musik-musik penyanyi / band lokal dulu, kalau evolusi musik selera musik barat yang saya alami mungkin akan saya ceritakan di lain kesempatan. 

Cerita ini dimulai dari saya kecil yaa. Saya dibesarkan bukan dari keluarga pemusik, tapi hampir sebagian keluarga di tempat saya tinggal bisa bermain musik. Nenek saya bisa bermain keyboard, om saya bisa bass dan gitar (namanya Heru / Yosua, main gitarnya lumayan jago), sepupu bisa bermain gitar, dan keyboard (Joko / Hizkia ini dulu punya band namanya Edelweiss, dan dia pegang keyboard), sedangkan saya (SAYA BISA APA? Hehe) bisa sedikit-sedikit bermain gitar, drum, dan suling (lagu hymne guru dan mengheningkan cipta kayaknya lagu wajib pastinya). Kemampuan bermusik saya mulai berkembang di waktu SMP. Nanti akan saya ceritakan

Sewaktu kecil, Mama selalu membeli kaset lagu anak-anak, mulai dari Josua, Maisy, Chikita Meidy, Trio Kwek-kwek (salah satu personelnya udah ada yang nikah), Kiky (yang mirip Boboho), dan beberapa artis cilik lainnya yang namanya gak setenar artis-artis yang saya sebut diatas. Lagu kesukaan saya kala itu judulnya “bintangku” (kalau gak salah). Selain liriknya yang bagus tentang nama-nama zodiak (sampai sekarang masih hafal lagunya), penyanyinya juga cantik (padahal waktu itu masih kecil tapi udah tahu cewek cantik hehe). Selain itu Mama punya kaset-kasetnya Obie Mesakh, Nia Daniaty, Panbers, Koes Ploes, Grace Simon, dll, dan beliau suka nyetel itu sambil bersih-bersih rumah, masak atau ketika santai. Sambil denger lagu-lagu itu kadang saya nanya “ini yang nyanyi siapa mah?”, dan Mama menjawab “ini Obie Messakh, orangnya sudah meninggal”. Dan biasanya saya jadi takut denger lagunya, soalnya mikir dengerin suara orang yang udah meninggal jadi ketakutan tersendiri buat saya waktu itu.


















Masih di masa kanak-kanak, dulu lagu anak-anak masih gampang ditemuin, baik kaset, radio, dan di TV ada lagu anak-anak. Sampai waktu itu ada acaranya di TV, nama acaranya  “Tralala-Trilili” (bisa di cek di Youtube, pembawa acaranya Agnes Monica). Dulu gak pernah ketinggalan sama acara ini, kalau gak salah jam 3 sore di RCTI. Favorit banget deh tuh acara pokoknya. Sekarang hampir susah ditemuin lagu yang ber-konten anak-anak. Bahkan acara musik lagu anak-anak udah gak ada lagi. Beruntung lah kita yang hidup di masa itu.

Hari berganti hari, presiden berganti wakil, saya pun tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang mulai ‘liar’. Saya mulai suka dengan yang namanya lagu-lagu pop yang ditayangkan di MTV (dulu di tayang di ANTEVE dan kemudian pindah ke Global TV), dan saya menyukai lagu-lagu semacam Dewa 19, Sheila on 7, Padi, dan band-band yang bermunculan pada saat itu. Untuk mendengar lagu-lagu mereka satu-satunya sumber ya di MTV itu, sebab waktu itu masih belum punya uang untuk beli kaset. Baru sejak SMP, saya mulai rajin beli kaset, mulai dari Peterpan (Alexandria), Ada Band (Wanita Ingin Dimengerti), Dewa (Laskar Cinta, dan Republik Cinta), sampai RADJA! (Saya tidak tahu kenapa dulu saya beli kaset Radja, dan sekarang saya pikir hal itu adalah suatu kebodohan yang saya lakukan waktu itu HAHA). Yah itu lah, lagu-lagu itu muncul di saat masa anak-anak SMP yang baru mengenal ‘dunia’ dan cinta.

Sayang MTV sudah gak ada lagi
Suatu saat, ketika saya masih SMP, saya coba mengutak-atik tempat kaset, saya menemukan kaset Iwan Fals! Wah senangnya bukan main, langsung ketika itu saya mainkan di Tape tercinta dan hasilnya, “PANGGIL AKU BENTO!”. Saya ketahui ternyata kaset itu adalah milik Bapak. Dengan cepat musik-musik Iwan Fals mampu mendobrak kecengengan saya akan selera musik yang mendayu sendu waku itu. Menyusul ketika itu Slank juga menjadi favorit. Sejak saat itu saya suka dengan lagu-lagu yang berlirik nakal dengan distorsi yang mengalun liar ditelinga. Saya tidak terlalu menggemari Slank sebenarnya, hanya beberapa lagu saja yang saya suka, tapi saya pernah beli pin-nya (bukan pin BB) yang saya pasang di dompet kala itu (kebayang dompetnya setebel apa?)

Ini cover om Obie Messakh yang Mama punya

Bang Iwan sang pendobrak

Majalah RS INA menjuluki mereka "The Lucky Bastard
Masa SMP adalah masa dimana selera musik saya masih labil, ketika ada Steven and Coconut Treez muncul di layar kaca, saya langsung menyukai lagu-lagu mereka, terutama single pertama mereka yang berjudul “Welcome To My Paradise”. Kocokan gitar reggae yang terdengar seperti ogah-ogahan dan ketukan drumnya yang simpel berhasil membuat saya mengangguk-ngangguk dan berkata “Yomaaan, rastamaniaaa~”. Ditambah lagi teman saya mencekoki saya dengan lagu-lagu Om Toni Q dan Souljah, membuat saya semakin cinta dengan musik dan gaya anak reggae yang gimbal itu. Bayangkan saja, gara-gara demam reggae, mulai dari gelang karet, baju, stiker di sepeda, sampai background Friendster (buat yang gak tau, Friendster itu kalau sekarang semacam Facebook atau Twitter) waktu itupun serba merah-kuning-hijau (jijik banget ya?  HAHA). Yah lagi-lagi itulah kehidupan anak SMP yang cenderung masih labil.


Kehadiran mereka membuat virus merah-kuning-hijau di kehidupan saya


































Lalu ketika kelas 3 SMP (ini kisah nyata), ada salah satu teman yang melihat ketertarikan saya terhadap musik cukup besar, maka teman saya mengajak untuk bikin band dalam rangka tampil di pentas seni (pensi) di SMP.  Terjadilah percakapan diantara kami, kurang lebih gini percakapannya:, 

Dori / Ricco (alias peyek): “Kita bikin band yuk, buat tampil di Pensi wakilin anak 3.6. Lu bisa main apa feb?”

*Seketika saya jawab*

Febri: “Gue bisa kok drum”

Dan taukah anda, saya belum pernah main drum sebelumnya, melihat dan menyentuh langsung saja belum pernah! Nekat betul saya waktu itu. Tapi karena saya punya kebiasaan suka pukul-pukul sofa dirumah (dengan stik drum beneran yang didapat dari tugas kelompok waktu SD) jadi dikit-dikit bisa lah dengan membayangkan drum beneran. Cuma kendalanya adalah saya belum bisa mainin pedal drum, karena biasanya cuma pukul-pukul di sofa rumah (yang kalau dipukul berdebu). Alhasil kami pun mencoba latihan dan hasilnya NO PROBLEM! Saya bisa sedikit-sedikit. Memang di awal sempat kesulitan, namun bisa lancar ketika sudah terbiasa, ini namanya PASSION yang  bermula dari OBSESI. 

Akhirnya kami memutuskan membawa dua lagu, “Munajat Cinta” (Dewa 19), dan “KETAHUAN” (Mata Band) haha. Band kami terdiri dari 5 orang, ada Ricco (vocal), Dori (melod), Agus (bass), Andre (gitar), dan saya (DRUM!). Kami hanya membawakan satu lagu, sebab satu lagu kami sudah dibawakan oleh band lain, dan lagu yang diambil itu adalah “Munajat Cinta”, itu artinya kita membawakan lagu apa ada yang tau? Iyak! lagu “ketahuan” saja. Karena hanya membawakan satu buah lagu, maka Ricco sang vokalis mengulang-ulang bagian reff-nya berkali-kali, “Oo.. kamu ketahuan.. pacaran lagiih” dan penonton pun moshing (semacam joget tapi ngadu badan dan kadang mukul-mukulin orang didepannya)

Itulah pengalaman manggung pertama, seru, meski lagu yang dibawain gak seru. Haha (sayang gak ada dokumentasinya nih)

Majalah Favorit

Masuklah sekarang ke zaman SMA, pengetahun akan band indie mulai masuk. Sepertinya orang yang cukup berpengaruh dalam memberi pengetahuan bermusik saya adalah sepupu saya, Mas Joko. Ia kerap menunjukkan lagu-lagu lawas baik luar maupun dalam negeri. Tidak hanya itu kadang memberi pengetahuan tentang band-band indie. Pengetahuan musik yang saya dapat juga dari majalah musik, yaitu RollingStone. Tiap ada edisi khusus, saya selalu beli majalah ini. Ternyata majalah ini cukup membantu saya untuk mengeksplorasi lebih jauh band-band indie ini. Majalah ini kerap membahas band-band indie seperti Efek Rumah Kaca (ERK), SORE, WSATCC, Superglad, Sir Dandy, The Brandals, dan lain-lain. Saya lupa punya majalah RS berapa, tapi yang pasti setiap edisi khusus saya beli (saking banyaknya). Ketika diajak ngeband oleh teman-teman, saya ingin sekali band yang mereka buat ber-genre seperti band-band indie diatas. Tapi apalah daya, saya malah diajak main di band metal. Ya, saya memang pernah bergabung dengan band teman saya yang ternyata beraliran metal. Mereka membutuhkan seorang drummer. Tapi saya memutuskan untuk tidak melanjutkan, gak sanggup bro haha belum cukup mahir kearah musik-musik kaya gitu. Alhasil ngeband gak pernah awet, selalu kandas ditengah jalan (sedih ya?).
 
White Shoes and The Couples Company

Setelah semakin sering mendengar musik band indie, pengaruh White Shoes and The Couples Company (WSATCC) sangat masuk dengan saya yang ketika SMA sampai sekarang menyukai hal-hal yang berbau retro, klasik, vintage, dll. Saya suka gaya mereka, lagu-lagu mereka, dan akhirnya membuat saya harus mencari-cari lagu-lagu lawas. Ketika sedang berkunjung ke blog teman, ia menampilkan sebuah link yang didalamnya berisi foto-foto dan musik-musik dokumentasi. 

Frankie and Jane "Musim Bunga"
Setelah saya cek ternyata didalamnya banyak sekali lagu-lagu lawas Indonesia dari tahun 1900 – 2000an. Setelah melakukan penelusuran, saya menjadi semakin suka dengan lagu-lagu lama, seperti Lilis Suryani, Frankie and Jane, Kerontjong Orchest Eurasia, Andriani, dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, hampir isi di folder lagu-lagu saya saat ini kebanyakan lagu-lagu lawas baik dalam maupun luar negeri. Secara tidak langsung lagu-lagu lawas mampu membawa suasana kita kembali disaat dimana kita mendengarkan lagu itu pertama kali. Selain itu kekhasan yang dimunculkan lagu-lagu lawas memang berbeda dengan musik-musik kontemporer.
 
Casiopea "The Legend"

Selain musik-musik indie, saya juga sebenarnya pendengar musik Jazz, dan itu pun tetap saja lagu-lagu lama yang saya dengar. Seperti John Coltrane, Horace Silver, Miles Davis, dll. Tapi hanya sebatas menjadi penikmat saja kok, tidak terlalu fanatik terhadap musik Jazz. November 2013 kemarin saya datang ke konser Jazz yang diadakan oleh Economics Jazz FEB UGM. Tahun ini mereka menampilkan Marcel, Raisa, dan diiringi oleh Idang Rasjidi, Mus Mujiono, Echa Soemantri, dan satu orang anak laki-laki usia 15 tahun yang sudah handal dalam bermain bass (lupa namanya siapa). Bintang tamu utama yang dihadirkan oleh mereka tahun ini adalah Casiopea 3rd, sebuh band asal Jepang yang sudah tiga kali ganti formasi personil. Penampilan yang mereka hadirkan malam itu sangat memukau, konser selama kurang lebih tiga jam itu dihadiri oleh banyak penonton yang ingin menyaksikan legenda musik Jazz dari negeri sakura itu, bahkan salah satu dari penonton tersebut adalah Pak Pratino selaku Rektor UGM. Maret 2014 nanti dengar-dengar Earl Klugh akan dihadirkan, semoga saya ada kesempatan untuk menyaksikannya. 

Selera musik saya dari waktu-ke waktu memang mengalami evolusi yang cukup beragam, mulai dari masa kanak-kanak mendengarkan lagu anak-anak, masuk ke zaman lagu Pop dengan lirik-lirik bertema cinta, kemudian masuk era Iwan Fals, Slank, dan musik reggae di SMP, hingga pengaruh musik indie pada saat beranjak dewasa. Tapi satu hal yang saya pahami disini bahwa musik ternyata dapat mempengaruhi seseorang, ungkapan “YOU ARE WHAT YOU HEAR” mungkin ada benarnya juga. Sekarang saya tidak membatasi genre dalam mendengarkan musik. Apa yang yang saya dengar membuat saya nyaman, ya saya dengarkan. Sampai sekarang saya masih menyukai lagu anak-anak, Koes Ploes, lagu-lagu Iwan Fals, Slank, lagu-lagu Reggae, Pop, Melayu, Kerontjong Stamboel, musik-musik indie, Jazz, selagi itu nyaman di telinga saya, mengapa tidak?

Saturday, January 4, 2014

Kegelisahanku

Berawal dari seorang teman yang menulis tentang sejarah rumah Tjimanggis di blognya, baru saya ketahui saat ini rumah tersebut kondisinya sudah semakin hancur tak terawat. Saya juga mendengar dari salah satu rekan dari Depok Heritage Club (DHC), bahwa banyak bagian dari rumah itu yang di'preteli' oleh pemulung-pemulung untuk mereka jual. Kondisi ini terlihat miris, Padahal rumah tersebut dulunya memiliki sejarah panjang dan punya cerita yang cukup unik. (Cerita tentang Rumah Tjimanggis bisa dilihat di  

Rumah Tuan Tanah Tjimanggis




Rumah Tuan Tanah Tjimanggis saat ini






Belum lama ini saya mendengar kabar dari Ibu Farah Diba, salah satu pengurus DHC, bahwa ada salah satu situs bersejarah di daerah Pekapuran yang dibongkar dan akan dijadikan gudang obat. Jauh sebelum itu, sebuah bangunan bersejarah di kawasan Depok, tepatnya di Jl. Kartini, samping Kantor Kecamatan Pancoran Mas, kini telah disulap menjadi SPBU. Lalu rumah tua Pondok Cina juga telah lebih dulu disulap menjadi Margo City. Memang dibagian depan disisakan sedikit dari rumah itu (yang kini menjadi Cafe Old House Margo City) namun keberadaannya kini juga terancam akibat proyek pembangunan apartemen di depan Mall tersebut.

Eksekusi pembongkaran situs di Pekapuran, Depok

















Lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, "mengapa Pemerintah Kota Depok begitu mudah membiarkan hal demikian terjadi? mengapa tidak ada perhatian khusus terhadap bangunan-bangunan bersejarah di Kota Depok?". Entah saya harus bertanya kepada siapa, dan entah siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini, tapi dalam hati saya sebagai penduduk yang telah lama menetap di Depok merasa gelisah akan hal ini.

Saya merasa saya harus melakukan sesuatu, bertindak sesuatu untuk bangsa ini perbuatan sekecil mungkin untuk dampak yang berbuah besar. Entah dengan cara seperti apa tapi saya bertekad untuk memberikan sesuatu sumbangsih bagi bangsa ini, dimulai dari lingkup wilayah terkecil, yaitu Kota Depok.

Saya berpikir saya tidak akan bisa melawan pemerintah. Kemudian saya berpikir kembali, kalau begitu, apakah harus menjadi walikota/gubernur/penguasa baru bisa memberikan sesuatu untuk bangsa ini? sebab penguasalah yang punya kendali atas semuanya. maka percuma jika saya meraung-raung kepada penguasa apa yang saya gelisahkan, kalau pada akhirnya penguasa tidak mau dengar. Mau tidak mau, kitalah yang harus menjadi penguasa. Penguasa yang mau mendengar dan melihat kegelisahan rakyatnya. Apakah bapak walikota tahu apa yang saya gelisahkan ini? saya rasa tidak. 

Beberapa hari lalu saya membaca berita di web Tempo bahwa Wakil Gubernur Banten, Rano Karno siap jika harus menggantikan Atut (Sang Penguasa yang tersandung kasus korupsi). Selama menjadi wakil gubernur, ia selalu merasa tertekan dan gelisah. Disitu Rano Karno memberikan pernyataan bahwa ia gelisah melihat di Banten tidak ada Museum, padahal itu penting, malah ia melihat di Amsterdam terdapat literatur tentang Banten.

Saya rasa ini juga yang dialami oleh Kota Depok, yaitu tidak adanya Museum. Padahal Depok memiliki sejarah panjang sebagai daerah penghubung dari Buitenzorg (Bogor) ke Batavia (Jakarta). Ada beberapa literatur tentang Depok yang terdapat di beberapa museum di Bogor. Saya juga pernah bertanya atas kegelisahan saya ini tentang penting adanya Museum di Depok kepada DHC, dan mereka juga sedang mengusahakannya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi nanti.

Demikian beberapa kegelisahan yang saya sudah agak lama saya pikirkan dan baru di awal tahun 2014 ini saya ceritakan. Kita harap tahun 2014 ini menjadi tahun yang baik untuk kita, untuk Kota Depok, dan untuk bangsa kita tercinta, INDONESIA!





Febrianto Adi Saputro
(FLAIsFebri) 4 Januari 2014 16:45



Wednesday, January 1, 2014

Aku Ini Apa?

Kalau ditanya orang aku ini apa, aku harus jawab apa ya? 

Disebut  Seniman
Aku tak punya karya yang bisa aku banggakan dan aku pamerkan ke khalayak umum

Disebut Musisi
Aku tak punya band, main drum dan gitar saja masih belum mahir

Disebut Penulis
Aku hanya menulis di blog ini, ini pun tidak ada yang baca

Disebut Vandalis
Aku tak punya kuasa, apalagi massa

Disebut Penyiar
Untuk saat ini belum, tapi aku sedang berusaha menjadi itu, semoga segera mengudara

Disebut Sutradara Film
Aku hanya punya satu film, itu pun tugas akhir di waktu SMA, masih amatiran pula

Lalu, aku ini apa?