Tuesday, December 31, 2013

TAHUN BARU DAN KEMBANG API






















Tahun Baru dan Kembang Api, sama halnya seperti Lebaran dengan ketupat sayurnya yang enak.

Tahun Baru dan Kembang Api, sama halnya seperti Natal dengan hiasan pohon cemaranya yang indah.

Tahun Baru dan Kembang Api, sama halnya seperti sebuah penanda.

Tanda dimana kita memasuki tahun yang baru, tanda dimana kita merasa akan menghadapi kehidupan yang baru, tanda dimana kita harus mengganti kalender baru, tanda dimana diskon besar-besaran terjadi di hampir semua toko perbelanjaan, tanda dimana kita berharap akan menjadi prbadi yang lebih baik. Seolah-olah tahun baru adalah ulang tahun bersama.

Ya ulang tahun bersama, 

Berjuta harapan dan puji syukur dipanjatkan berjamaah, semua berlomba-lomba membuat wish list, resolusi, atau apapun itu namanya. Bahkan tak sedikit yang mempublishnya di jejaring sosial, kamar pribadi, buku catatan, buku kuliah, dll. 

Resolusi yang dibuat bermacam-macam, dari yang mainstream, sampai yang anti mainstream, dari yang masuk akal, sampai yang tidak masuk akal, terkesan abstrak, mengawang, bahkan terlalu hiperbolis, tidak realistis.

Tahun baru dan Kembang Api, sama halnya dengan tahun baru dan resolusi

Tidak kawan, tidak ada yang salah dengan resolusimu, sama halnya dengan tak ada salahnya menyalakan kembang api ditengah malam perayaan tahun baru, bahkan hingga pagi. Tidak ada yang salah, tidak akan ada yang marah juga, sebab semua orang tahu ini perayaan tahun baru.

Syukuri apa yang kau terima di tahun 2013 

&

jadilah yang terbaik di tahun 2014

SELAMAT TAHUN BARU 2014! 
JADILAH TERANG BAGIMU, BAGIKU, BAGINYA, BAGI KITA SEMUA!

Thursday, December 26, 2013

JOGJA berhenti NYAMAN

Siang ini aku melihat sebuah poster pameran fotografi di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) berjudul "Jogja Berhenti Nyaman". Unik juga pikirku, dan kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, bahwa kini gambaran Jogja tak seperti  slogannya "Jogja Berhati Nyaman".

Kesemrawutan Jogja tak luput dari liputan media massa, Tempo.co memberitakan hal ini. Tidak hanya itu, dalam berita itu juga menyebutkan bahwa Jogja kini dinilai tidak bisa lagi melindungi budayanya sendiri. 
(lihat: http://www.tempo.co/read/news/2013/12/26/162540150/Yogya-Tak-Lagi-Nyaman-dalam-Foto ).

Aku memang belum dua tahun tinggal di Yogyakarta, tapi aku cukup merasakan kesesakan Yogyakarta yang semakin lama semakin terasa. Hal ini aku rasakan ketika Tahun Ajaran Baru. Banyaknya pendatang / mahasiswa dari luar kota yang baru masuk Yogyakarta mungkin salah satu faktor yang membuat Yogyakarta semakin ramai. Tidak hanya itu, coba perhatikan kendaraan yang lewat di jalan-jalan di Jogja, Aku melihat di Jogja plat nomornya lebih beragam, tidak seperti di kota asalku yang lebih banyak plat "B". Mungkin karena Yogyakarta kota tujuan wisata. 

Tidak hanya masalah kemacetan, kenyamana para turis asing dan domestik juga terganggu dengan adanya pengamen dan pengemis yang datang silih berganti tak ada habisnya. Hebatnya, pengamen dan pengemis ini justru berkeliaran di pusat keramaian seperti di sepanjang jalan Malioboro. Tak jarang pengunjung yang sedang menikmati makanan harus sedikit terganggu dengan adanya para pengamen dan pengemis itu. Kehadiran guide yang memaksa dan tukang becak yang memaksa juga kadang meresahkan wisatawan. 

Ya memang itu cara mereka mencari nafkah, tapi adakah cara yang tidak mengganggu orang lain selain memaksa dan meminta-minta?