Sunday, September 14, 2014

Analogi Cinta dan Politik

Tulisan ini hanyalah manifestasi dari apa yang tiba-tiba muncul di kepala, atas dasar melihat realitas yang ada. Memang bukan sesuatu yang penting bagi orang lain, tapi penting bagi saya menuangkan apa yang ada di kepala kedalam tulisan. Apa yang ada dalam tulisan ini tidak seratus persen benar, hanyalah opini semata, dan jangan dibaca terlalu serius, sebab masih banyak aktifitas yang lebih bermanfaat dilakukan dengan serius dibanding hanya membaca tulisan dari seseorang yang tidak begitu pandai merangkai kata.

Ada asumsi umum diluar sana yang menganggap bahwa politik adalah sesuatu hal yang kotor, licik, sulit ditebak, dan menghalalkan segala cara untuk tercapai sebuah tujuan demi sebuah kekuasaan. Bagi sebagian orang mungkin memilih menjauh dari politik, memilih enggan belajar politik, atau apatis dan tidak ikut berpartisipasi dalam politik. Padahal, manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas dari yang namanya politik, dan manusia butuh yang namanya berpolitik.

Tidak perlu mencari contoh yang jauh-jauh, sebut saja CINTA. Manusia butuh akan cinta, butuh akan kasih sayang. Untuk mendapatkan sebuah cinta, manusia rela melakukan apa saja untuk orang yang dia sayang, betul? Tidak peduli apakah orang tersebut sudah memiliki pasangan atau belum, suka atau tidak, seseorang selalu mengejar sesuatu yang disebut cinta. Sampai disini apakah kalian menangkap persamaan antara politik dan cinta?

Cinta juga merupakan bagian dari politik. Mengapa saya katakana demikian? Cinta dicari untuk mendapatkan kasih sayang, sedangkan politik adalah sarana untuk mendapatkan kekuasaan. Seseorang takut akan kehilangan cinta dan rela mendapatkan cinta dengan menghalalkan segala cara, meminjam istilah Niccolo Machiavelli, begitu juga dengan politik.

Seorang politikus yang hendak menjadi pemimpin dalam masyarakat akan ber-retorika dengan maksud meyakinkan rakyat agar rakyat percaya dan yakin sehingga memilih orang tersebut untuk menjadi pemimpin mereka. Seorang diplomat yang mewakili sebuah negara melakukan diplomasi dengan negara lain untuk sebuah kepentingan negaranya. Seorang yang tadinya bukan seorang pujangga, hanya karena ia jatuh cinta, tiba-tiba ia menulis banyak sekali kata-kata puitis, dengan tujuan agar orang yang ia sayang yakin dan percaya.

Dalam politik tidak ada yang namanya kawan abadi dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Seseorang atau kelompok yang berkoalisi saja tidak selamanya serasi. Seorang politikus yang tadinya saling menjelekan lawan politiknya bisa menjadi sahabat begitu dekat. Begitu juga sebaliknya. Dalam percintaan juga begitu. Mungkin saat ini ada orang yang menjauh tiba-tiba mendekat, atau sebaliknya yang tadinya mendekat mulai menjauh.

Sedikit berbicara tentang keadaan alamiah (State of Nature) adalah sebuah perandaian segala sesuatu tanpa keberadaan negara,  Menurut Thomas Hobbes, keadaan alamiah adalah keadaan yang menyedihkan. Dibutuhkan suatu pemerintahan untuk menjamin agar kita tidak tergelincir kedalam peperangan. Lalu saya membayangkan keadaan alamiah disini adalah sebuah keadaan seseorang yang dimana tidak ada cinta dalam hidupnya. Maka hidup seseorang tersebut terasa hampa, sepi, emosi yang cenderung labil, tidak terarah, bebas, kurang bergairah. Maka cinta dan kasih sayang menjadi sebuah kebutuhan bagi semua orang. Semua orang berhak mencintai dan dicintai. Mencintai dan dicintai itu manusiawi.

Kata orang cinta itu buta, tidak memandang apakah ia sudah memiliki pasangan atau belum, Namanya kepentingan pasti dikejar, tidak peduli siapa disampingnya, apa latar belakangnya, bagaimana bibit, bebet, bobotya, tidak memandang apa suku, agama, dan rasnya apa. Asalkan sayang ia akan tetap mengejar ‘kepentingan’ itu. Keras memang, licik, dan kotor pula, ya sama seperti politik.

Memang politik mengajarkan banyak hal, namun teori-teori politik lantas jangan diterapkan dalam kehidupan percintaan. Politik itu terlalu keras, menyangkut kehidupan orang banyak. Sedangkan dalam percintaan, hanya menyangkut soal hati antar individu. Dalam cinta, ketika mata dan mata yang bertemu maka hati yang bicara, sedangkan dalam politik ketika diplomasi tak kunjung mendapatkan titik temu maka senapan yang berbicara.

Politik tak selalu kotor, cinta juga tak selamanya suci, Artinya apa? Memang tidak ada yang sempurna dalam dunia ini. Selalu ada sisi baik dan sisi buruk, begitu juga dengan manusia. Jangan mencintai seseorang dengan segenap jiwa kalau tidak ingin sakit jiwa, namun cintailah seseorang dengan segenap hati, andaikata kehilanganpun kau hanya akan sakit hati, bukan sakit jiwa. Maka itu berpolitiklah dengan sehat, andaikata gagal dalam berpolitik, kau tidak akan sakit jiwa. 

Tuesday, September 9, 2014

Historisitas Seorang Febri

Nama saya Febrianto Adi Saputro, biasa dipanggil Febri. Saya lahir di Jakarta 10 Februari 1993. Di sebuah daerah padat penduduk di Jakarta Pusat. Saya dilahirkan di sebuah puskesmas kecil, namun terakhir saya lihat tempat dimana saya dilahirkan, kini puskesmas itu telah berubah menjadi salon. Sangat disayangkan memang, sebuah saksi bisu dimana saya lahir, saya justru tidak bisa melihatnya lagi.

Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Adik saya yang pertama seorang perempuan yang saat ini duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Atas (SMA), dan adik saya yang kedua masih duduk di kelas 6 SD. Saya dilahirkan dikeluarga yang sederhana. Pendidikan terakhirnya STM, dan pendidikan terakhir ibu saya adalah SMEA. Ayah saya asli Kuningan, Jawa Barat, dan Ibu asli Jakarta, namun nenek saya asli Boyolali. Hanya saja sewaktu nenek saya melahirkan ibu saya, ibu lahir di Jakarta. Keluarga besar pun kebanyakan tinggal di Boyolali. Saat ini saya sudah lama menetap di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

Ketika Taman Kanak-kanak, saya adalah seorang anak yang cengeng. Gampang sekali menangis jika tahu ibu tidak menunggu saya sampai saya pulang. Beranjak dari Sekolah Dasar masih tidak berubah. Setidaknya sampai di kelas 2 SD saya sudah mulai berani sendiri. Saya sudah mulai berani membawa sepeda sendiri ke sekolah sampai lulus SD. Ketika SD saya memang tidak pernah mendapat peringkat di kelas. Mendapat nilai matematika 9 di raport saja terakhir itu kelas 2 SD, sisanya tidak pernah.

Ketika SMP, saya berhasil masuk disalah satu SMP favorit di Depok, yaitu SMPN 8. Saya selalu berjalan kaki menuju sekolah, karena memang tidak punya motor, naik ojek pun terlalu mahal pada saat itu. Perjalanan dari rumah menuju sekolah kurang lebih 30 menit. Maka saya selalu berangkat dari rumah tidak pernah lebih dari jam 6.30. Begitu juga ketika SMA.

Kemudian ketika lulus SMP, saya tidak berhasil masuk sekolah favorit karena nem saya tidak cukup. Saya justru masuk sekolah swasta yang terkenal akan sekolah rawan tawuran. Dasar saya masuk sekolah itu hanya karena dulu sepupu masuk sekolah itu dan berhasil lolos SPMB dan masuk UI. Karena kedua sepupu saya yang juga satu rumah dengan saya semua lulusan UI, maka saya bertekad untuk mengikuti jejak mereka.

Setelah lulus SMA di tahun 2011, niat saya justru berubah. Saya memilih untuk bekerja sambil kuliah. Saat itu saya sudah diterima di Trisakti jurusan Desain Komunikasi Visual. Akan tetapi, saya tidak meneruskan disana karena sesuatu hal. Akhirnya uang pendaftaran yang sudah masuk dikembalikan, dan uang tersebut saya pakai untuk daftar bimbel.
Sambil bimbel, saya melamar pekerjaan di beberapa tempat. Tempat pertama saya bekerja adalah sebagai pialang di Menara UOB Thamrin, Jakarta Pusat. Disana saya bekerja layaknya eksekutif muda, memakai kemeja, bersepatu pantofel, dan berdasi, namun saya tidak pernah mengira bahwa pekerjaan saya waktu itu tidaklah mudah. Bagaimana saya harus mendapatkan nasabah yang mau investasi minimal seratus juta rupiah (Rp. 100.000.000). Akhirnya seminggu disana saya memutuskan keluar, alasan saya keluar ada dua hal, pertama karena saya tidak menikmati pekerjaan saya, kedua, karena disaat yang bersamaan saya mendapat panggilan kerja di Hoka-hoka Bento. Akhirnya saya bekerja di Hoka-hoka Bento sebagai Part-time. Di tempat kerja saya yang baru ini saya justru menikmatinya. Meski kadang hanya cuci piring di dapur, kadang sebagai pengantar makanan, kadang juga menjadi penyambut tamu. Akhirnya saya bekerja disana selama 3 bulan, karena saya memang dikontrak selama 3 bulan saja.

Akhirnya saya mencari kerja lagi di beberapa tempat hingga diterima di salah satu hotel bintang tiga di daerah Taman Anggrek, Jakarta Barat. Disana saya menjadi Banquet. Awalnya saya menikmati pekerjaan itu, namun setelah beberapa minggu disana saya melihat ada perbedaan yang sangat mencolok antara pekerjaan saya yang baru dan yang dulu, bukan soal gaji, namun teknis kerjanya, saya akhirnya memutuskan keluar darisana.
Akhirnya saya memutuskan untuk fokus SNMPTN tahun 2012. Saya mempersiapkan diri untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri yang saya impikan. Puji Tuhan saya dapat diterima di Fakultas Filsafat UGM. Mungkin ini adalah mukjizat yang Tuhan berikan kepada saya. Saya bisa diterima di UGM dengan biaya masuk yang murah. Jujur saya tidak pernah bermimpi untuk bisa masuk UGM. Namun Tuhan memiliki rencana yang indah buat saya. Saya bangga bisa berkuliah di Yogyakarta, banyak hal yang saya pelajari dan saya dapatkan di kota ini. Tidak hanya akademik, namun juga diluar akademik.


Rencana, atau cita-cita saya kedepan adalah saya berharap bisa melanjutkan kuliah ke jenjang S2 atau bahkan S3 minimal di Indonesia. Saya ingin memberi kontribusi nyata bagi Indonesia, pada umumnya dan bagi daerah asal saya pada khususnya, dalam bidang apapun, asalkan saya bermanfaat bagi masyarakat luas. Saya ingin memberikan sesuatu untuk bangsa ini, karena sedari kecil saya sudah diberi banyak oleh Indonesia, kini saatnya saya memberi banyak untuk Indonesia sebagai ucapan terima kasih saya untuk bangsa yang telah ikut berperan membesarkan saya. 

Saturday, September 6, 2014

Surat Cinta Untuk Indonesia

Teruntuk, Indonesia


Aku tidak pernah tahu kapan aku mati. Aku juga tidak pernah tahu kapan aku berjaya. Aku hanya ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang besar sebelum aku mati, dan aku hanya ingin melihat Indonesia berjaya, berjaya di mata dunia. Aku optimis bangsaku ini akan menjadi bangsa seperti apa yang dicita-citakan bersama.

Melihat dan mendengar kisah-kisah hebat para pemuda dalam mengejar cita-cita, orang-orang yang berani melakukan perubahan, dan orang-orang yang mampu melihat ke depan, membuatku berpikir, ada asa di ujung sana.

Indonesia tidak pernah kehabisan orang-orang kreatif, Indonesia tidak pernah krisis orang-orang inovatif, orang-orang dengan idealisme yang tinggi. Selalu ada saja orang-orang hebat bermunculan. Hal itulah yang membuat aku yakin Indonesia mampu menjadi bangsa yang besar.

Mungkin terlihat ada banyak kata “bangsa yang besar” dalam tulisan ini, lalu besar yang seperti apa? Apakah saat ini bangsa kita bukan bangsa “besar”? Besar yang aku maksud disini adalah bangsa yang dipandang oleh dunia karena rasa persatuan dan kesatuan yang besar. Mengapa persatuan dianggap penting? Kita tidak hidup sendiri, dan hidup kita tidaklah diatur oleh satu individu atau oleh suatu kelompok, melainkan adanya ego dalam diri masing-masing manusia, agar tercapainya apa yang dicita-citakan oleh individu tersebut. Ego inilah yang kerap menimbulkan perbedaan. Ego tidak bisa dilawan dengan ego. Dibutuhkanlah suatu alat agar cita-cita bersama dapat tercapai, alat itulah dinamakan persatuan.

Ada berbagai macam bentuk persatuan, seperti persatuan antar pemuda, yang mungkin bagi sebagian pemuda lupa kalau dulu para pemuda bersatu dan bersumpah dalam sumpah pemuda. Perbedaan paham, perbedaan pilihan, perbedaan sekolah, kerap membuat mereka mencederai persatuan itu sendiri.  Selain itu juga persatuan antar masyarakat, persatuan antar suku, persatuan antar agama, inilah yang harus kembali disadarkan arti penting dari sebuah persatuan. Terakhir, bersatunya pemerintah dengan rakyat. Pemerintahan ada karena rakyat, suara yang harus didengar adalah suara rakyat, maka perlu bersatunya antara rakyat dengan pemimpin, agar pemimpin tahu apa yang rakyat butuhkan, dan Indonesia menjadi seperti apa yang mereka harapkan.

Indonesia, aku bercita-cita ingin melakukan sesuatu untukmu, memberikan sesuatu untuk sebuah perubahan yang besar. Aku masih belum tahu bagaimana caranya. Aku ingin melakukan sesuatu perbuatan kecil yang justru berdampak besar bagimu. Apakah aku harus terjun ke medan perang dan bisa memenangkan peperangan tanpa harus menghunus pedang kearah lawan? Apakah mungkin seorang petani yang ingin bekerja di sawah namun tidak ingin kotor kakinya? Itu hanyalah sedikit pikiran-pikiran nakal yang hampir setiap waktu menghantuiku.

Jujur, aku tengah dilanda kebingungan, ketika batin berteriak melihat keprihatinan, apa yang bisa aku lakukan? Diam bukanlah pilihan yang tepat. Ingin bergerak entah harus mau memulai dari mana. Banyak sampah-sampah pikiran di kepalaku ini, dan aku bingung kemana aku harus membuangnya. Wadah yang aku cari tak kunjung dapat, atau bisa jadi belum kutemukan. Apapun itu, itu hanyalah pergulatan pribadiku saja.

Indonesia, aku tak tahu apa yang kau rasakan saat ini, di satu sisi kau mungkin terluka ketika melihat pertumpahan darah antar saudara sebangsa, kau mungkin malu melihat perilaku koruptor yang merajalela, kau mungkin menangis melihat anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah, mungkin kau miris melihat kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, mungkin kau marah kekayaan tanahmu yang justru dinikmati bangsa lain. Tapi di sisi lain, mungkin kau bangga melihat anak-anak muda yang berkiprah di dunia internasional, kau bangga dengan para pelajar yang memenangkan olimpiade fisika, matematika, kimia, dan lain-lain, mungkin kau terharu ketika lagu kebangsaan dikumandangkan di negeri orang, dan mungkin kau bangga dengan para perjuangan para pejuang dalam menggapai dan mempertahankan kemerdekaan. Tapi aku selalu berharap, Indonesia menjadi bangsa yang kuat digoyang badai sekuat apapun, dan kuat dari buaian pujian yang membutakan.

Ada beberapa lagu tentangmu yang membuatku terharu bahkan menangis ketika mendengarkannya, pertama lagu “Ibu Pertiwi” dengan penggalan liriknya yang berbunyi “Kini Ibu sedang lara, merintih, dan berdoa”. Aku berharap kau tidak terus menerus lara, dan merintih. Sedangkan lagu lainnya adalah “Tanah Airku” dengan penggalan liriknya yang berbunyi, “Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu”. Kemanapun saya pergi, tanah airku adalah Indonesia. Seburuk apapun pandangan orang lain terhadap Indonesia, saya tidak akan malu menjadi orang Indonesia. Justru saya bangga menjadi orang Indonesia. Terima kasih Indonesia.



Yogyakarta, 6 September 2014