Ki Hadjar Dewantara & Istri Berfoto Bersama Ir. Soekarno dan Prof. Sardjito usai pemberian gelar Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) 19 Desember 1956 |
Ing Ngarsa Sung Tulada
Ing Madya Mangun Karsa
Tutwuri Handayani
Adalah sebuah trilogi yang dicetuskan oleh salah satu
organisasi yang menjadi pelopor pendidikan di Indonesia. Salah satu tokoh penting
yang muncul dibalik trilogi tersebut adalah Ki Hadjar Dewantara, atau yang
dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
“Ki Hadjar Dewantara” bukanlah sebuah nama yang telah ada
sejak lahir. Nama ”Ki Hadjar Dewantara” sendiri baru muncul ketika usianya
memasuki 40 tahun. Sewaktu kecil hingga masa mudanya, ia lebih dikenal dengan
nama RM Soewardi Suryaningrat.
Soewardi Suryaningrat lahir di Pakualaman 2 Mei 1889. Ia
merupakan seorang keturunan bangsawan, yaitu cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran
Soerjo Sasraningrat (Paku Alam ke III), dan ayahnya bernama G.P.H.
Soerjaningrat.
Meskipun Soewardi Suryaningrat berasal dari kalangan ‘darah
biru’, namun ia merasa tidak nyaman dengan adanya gelar pada namanya tersebut. Setidaknya
hal itu ia rasakan setelah ia membentuk sebuah yayasan pendidikan yang
dinamakan Taman Siswa pada tahun 1922. Menurutnya, gelar tersebut mengganggu
interaksinya dengan siswa-siswa, sehingga ia memutuskan untuk menanggalkan gelar
kebangsawanannya itu dan akhirnya memilih memakai nama Ki Hadjar Dewantara.
Tidak hanya itu, dalam sebuah kongres, Ki Hadjar Dewantara
berpidato bahwa siapa saja yang berada di dalam lingkungan Taman Siswa, yang
memiliki gelar harus dihilangkan. Bahkan sampai nama istri Ki Hadjar Dewantara pun
juga ikut berubah, yang tadinya bernama Raden Ajoe Soetartinah kemudian berubah
menjadi Nyi Hadjar Dewantara. Sampai saat ini, sebutan “Ki” dan “Nyi” masih
berlaku bagi seluruh pengurus Taman Siswa di seluruh Indonesia.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara
diakui kehebatannya oleh berbagai pihak, salah satunya juga diakui dan diterapkan
oleh Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Pengakuan
tersebut diperkuat dengan pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Anies Baswedan tiga tahun lalu dalam pidatonya bertajuk “Gawat Darurat
Pendidikan di Indonesia”, yang mengatakan bahwa adanya kesamaan konsep
pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu menempatkan
pendidikan secara proporsional, kesetaraan pendidikan bagi semua rakyat, menolak
standarisasi kaku dan berlebihan karena dianggap menjadi musuh kreatifitas,
serta mendukung aktifitas bermain sebagai tuntutan jiwa anak.
Berbicara mengenai Ki Hadjar Dewantara tidaklah melulu soal konsep pendidikannya. Ada hal lain yang bisa digali dari sosok Ki Hadjar Dewantara, salah satunya adalah teladan akan kesederhanaan.
Dari kisah di atas terlihat bagaimana kesederhanaan Ki Hadjar
Dewantara yang memilih untuk menyamakan kedudukannya dengan murid-muridnya yang
rata-rata adalah anak petani, dan anak guru. Ki Hadjar Dewantara melepaskan
segala bentuk kemewahan keturunan bangsawan yang ia peroleh agar bisa lebih dekat
dengan murid-muridnya.
Contoh lain dari kesederhanaan seorang Ki Hadjar Dewantara
adalah ketika ia memutuskan untuk menghibahkan rumah miliknya untuk diajdikan
sebuah museum. Menurut penuturan Staff Teknis dan Pemandu Museum Dewantara
Kirti Griya (Museum DKG), Agus Purwanto, menyebutkan Rumah yang saat ini
menjadi lokasi Museum DKG tersebut awalnya dibeli dari seorang janda yang
suaminya dulu berasal dari Eropa.
Pada saat itu Taman Siswa sedang berkembang pesat, hal itu
menyebabkan rumah Ki Hadjar Dewantara yang berada di Jalan Tanjung (kini
menjadi Jalan Gadjah Mada) tidak lagi muat menampung para siswa. Sehingga pertimbangan
itulah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara memutuskan membeli sebuah rumah dengan
lahan yang luas. Di atas lahan itulah kemudian dibangun sebuah pendopo, dan
dibuatkan persekolahan yang dijadikan satu komplek.
Rumah tersebut secara resmi ditempati pada tahun 1938 oleh
Ki Hadjar Dewantara dan keluarganya. Ki Hadjar Dewantara terus mengembangkan
Taman Siswa hingga akhirnya ia wafat pada 26 April 1959. Taman Siswa kemudian
diteruskan oleh istrinya, yaitu Nyi Hadjar Dewantara yang menjadi pimpinan
pusat Taman Siswa hingga akhir hayatnya 16 April 1971. Pada akhirnya rumah
tersebut diresmikan sebagai museum pada 2 Mei 1970 oleh Presiden Kedua
Indonesia, Soeharto.
Sepeninggal Nyi Hadjar Dewantara, Museum diserahkan kepada
Persatuan Taman Siswa. Uniknya, tidak ada satupun keturunan dari Ki Hadjar
Dewantara masuk ke dalam pengurus yayasan Taman Siswa, baik sebagai anggota
maupun pimpinan. Hal itu dibenarkan oleh Agus Purwanto.
“Tidak ada
keturunan Ki Hadjar Dewantara yang jadi pimpinan Taman Siswa. Rupanya itu sudah
dikehendaki oleh Ki Hadjar Dewantara, beliau tidak menginginkan itu,” ujar pria
yang sudah bekerja di Museum DKG sejak tahun 1993 tersebut.
Entah apa
yang ada dipikiran Ki Hadjar Dewantara saat itu sehingga memilih untuk tidak
mewariskan Taman Siswa kepada keluarganya dan lebih memilih menyerahkan kepada
yayasan Taman Siswa. Padahal Ki Hadjar Dewantara adalah keluarga besar yang
memiliki banyak anak, namun ia tidak sampai memikirkan keturunannya harus
menjabat di Taman Siswa, bahkan ia pun rela menghibahkan rumahnya tersebut
untuk dijadikan museum.
Pada 2015 silam, terdengar kabar bahwa Pemerintah Belanda
ingin mengabadikan nama Ki Hadjar Dewantara menjadi nama jalan di negara kincir
angin tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak baik oleh pihak Yayasan Taman
Siswa maupun oleh pihak keluarga.
Agus bercerita, Ki Hadjar Dewantara pernah berpesan bahwa ia
tidak ingin namanya digunakan sebagai nama bangunan, nama gedung, maupun nama
jalan. Ki Hadjar Dewantara khawatir hal tersebut dimaksudkan untuk
mengkultuskan seseorang. “Prinsipnya Ki Hadjar Dewantara melarang nama beliau
dipakai untuk apa saja,” kata Agus.
Selain kesederhanaannya, Ki Hadjar Dewantara juga dikenal
sebagai sosok yang humoris. Meskipun ia seorang yang tegas, dan keras, namun
ada sisi humoris yang terselip dalam pribadi Ki Hadjar Dewantara.
Suatu hari Ki hadjar Dewantara sedang mencangkul di
sekitaran rumahnya, saat itu ia hanya mengenakan sarung dan berkaos oblong.
Tiba-tiba ada seorang tamu datang dan ingin bertemu dengan Ki Hadjar Dewantara.
Tamu tersebut tidak mengetahui bahwa yang menjadi lawan bicara ketika itu
adalah orang yang ia cari. Maka dengan segera Ki Hadjar Dewantara menyuruh tamu
tersebut menunggu. Kemudian Ki Hadjar Dewantara masuk dan berganti pakaian
untuk menemui tamu tersebut.
Cerita tersebut diperoleh Agus dari Nyi Iman Sudiyat, salah
satu saksi sejarah yang masih sering menceritakan kembali kesehariannya dulu
bersama Ki Hadjar Dewantara. Nyi Iman Sudiyat adalah teman dari putri Ki hadjar
Dewantara sewaktu masih tinggal di pondok Taman Siswa dulu.
“Waktu itu ruangan perpustakan tersebut adalah pondokan
putri,” cerita Agus seraya menunjuk bangunan perpustakaan.
No comments:
Post a Comment