Wednesday, May 3, 2017

Belajar dari Kesederhanaan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara & Istri Berfoto Bersama Ir. Soekarno dan  Prof. Sardjito usai pemberian gelar Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) 19 Desember 1956 


Ing Ngarsa Sung Tulada

Ing Madya Mangun Karsa

Tutwuri Handayani

Adalah sebuah trilogi yang dicetuskan oleh salah satu organisasi yang menjadi pelopor pendidikan di Indonesia. Salah satu tokoh penting yang muncul dibalik trilogi tersebut adalah Ki Hadjar Dewantara, atau yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.

“Ki Hadjar Dewantara” bukanlah sebuah nama yang telah ada sejak lahir. Nama ”Ki Hadjar Dewantara” sendiri baru muncul ketika usianya memasuki 40 tahun. Sewaktu kecil hingga masa mudanya, ia lebih dikenal dengan nama RM Soewardi Suryaningrat.

Soewardi Suryaningrat lahir di Pakualaman 2 Mei 1889. Ia merupakan seorang keturunan bangsawan, yaitu cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Soerjo Sasraningrat (Paku Alam ke III), dan ayahnya bernama G.P.H. Soerjaningrat.

Meskipun Soewardi Suryaningrat berasal dari kalangan ‘darah biru’, namun ia merasa tidak nyaman dengan adanya gelar pada namanya tersebut. Setidaknya hal itu ia rasakan setelah ia membentuk sebuah yayasan pendidikan yang dinamakan Taman Siswa pada tahun 1922. Menurutnya, gelar tersebut mengganggu interaksinya dengan siswa-siswa, sehingga ia memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya itu dan akhirnya memilih memakai nama Ki Hadjar Dewantara.

Tidak hanya itu, dalam sebuah kongres, Ki Hadjar Dewantara berpidato bahwa siapa saja yang berada di dalam lingkungan Taman Siswa, yang memiliki gelar harus dihilangkan. Bahkan sampai nama istri Ki Hadjar Dewantara pun juga ikut berubah, yang tadinya bernama Raden Ajoe Soetartinah kemudian berubah menjadi Nyi Hadjar Dewantara. Sampai saat ini, sebutan “Ki” dan “Nyi” masih berlaku bagi seluruh pengurus Taman Siswa di seluruh Indonesia.   

Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara diakui kehebatannya oleh berbagai pihak, salah satunya juga diakui dan diterapkan oleh Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Pengakuan tersebut diperkuat dengan pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan tiga tahun lalu dalam pidatonya bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”, yang mengatakan bahwa adanya kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu menempatkan pendidikan secara proporsional, kesetaraan pendidikan bagi semua rakyat, menolak standarisasi kaku dan berlebihan karena dianggap menjadi musuh kreatifitas, serta mendukung aktifitas bermain sebagai tuntutan jiwa anak.

Berbicara mengenai Ki Hadjar Dewantara tidaklah melulu soal konsep pendidikannya. Ada hal lain yang bisa digali dari sosok Ki Hadjar Dewantara, salah satunya adalah teladan akan kesederhanaan.
Dari kisah di atas terlihat bagaimana kesederhanaan Ki Hadjar Dewantara yang memilih untuk menyamakan kedudukannya dengan murid-muridnya yang rata-rata adalah anak petani, dan anak guru. Ki Hadjar Dewantara melepaskan segala bentuk kemewahan keturunan bangsawan yang ia peroleh agar bisa lebih dekat dengan murid-muridnya.

Contoh lain dari kesederhanaan seorang Ki Hadjar Dewantara adalah ketika ia memutuskan untuk menghibahkan rumah miliknya untuk diajdikan sebuah museum. Menurut penuturan Staff Teknis dan Pemandu Museum Dewantara Kirti Griya (Museum DKG), Agus Purwanto, menyebutkan Rumah yang saat ini menjadi lokasi Museum DKG tersebut awalnya dibeli dari seorang janda yang suaminya dulu berasal dari Eropa.

Pada saat itu Taman Siswa sedang berkembang pesat, hal itu menyebabkan rumah Ki Hadjar Dewantara yang berada di Jalan Tanjung (kini menjadi Jalan Gadjah Mada) tidak lagi muat menampung para siswa. Sehingga pertimbangan itulah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara memutuskan membeli sebuah rumah dengan lahan yang luas. Di atas lahan itulah kemudian dibangun sebuah pendopo, dan dibuatkan persekolahan yang dijadikan satu komplek.

Rumah tersebut secara resmi ditempati pada tahun 1938 oleh Ki Hadjar Dewantara dan keluarganya. Ki Hadjar Dewantara terus mengembangkan Taman Siswa hingga akhirnya ia wafat pada 26 April 1959. Taman Siswa kemudian diteruskan oleh istrinya, yaitu Nyi Hadjar Dewantara yang menjadi pimpinan pusat Taman Siswa hingga akhir hayatnya 16 April 1971. Pada akhirnya rumah tersebut diresmikan sebagai museum pada 2 Mei 1970 oleh Presiden Kedua Indonesia, Soeharto.

Sepeninggal Nyi Hadjar Dewantara, Museum diserahkan kepada Persatuan Taman Siswa. Uniknya, tidak ada satupun keturunan dari Ki Hadjar Dewantara masuk ke dalam pengurus yayasan Taman Siswa, baik sebagai anggota maupun pimpinan. Hal itu dibenarkan oleh Agus Purwanto.
“Tidak ada keturunan Ki Hadjar Dewantara yang jadi pimpinan Taman Siswa. Rupanya itu sudah dikehendaki oleh Ki Hadjar Dewantara, beliau tidak menginginkan itu,” ujar pria yang sudah bekerja di Museum DKG sejak tahun 1993 tersebut.

Entah apa yang ada dipikiran Ki Hadjar Dewantara saat itu sehingga memilih untuk tidak mewariskan Taman Siswa kepada keluarganya dan lebih memilih menyerahkan kepada yayasan Taman Siswa. Padahal Ki Hadjar Dewantara adalah keluarga besar yang memiliki banyak anak, namun ia tidak sampai memikirkan keturunannya harus menjabat di Taman Siswa, bahkan ia pun rela menghibahkan rumahnya tersebut untuk dijadikan museum.

Pada 2015 silam, terdengar kabar bahwa Pemerintah Belanda ingin mengabadikan nama Ki Hadjar Dewantara menjadi nama jalan di negara kincir angin tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak baik oleh pihak Yayasan Taman Siswa maupun oleh pihak keluarga.

Agus bercerita, Ki Hadjar Dewantara pernah berpesan bahwa ia tidak ingin namanya digunakan sebagai nama bangunan, nama gedung, maupun nama jalan. Ki Hadjar Dewantara khawatir hal tersebut dimaksudkan untuk mengkultuskan seseorang. “Prinsipnya Ki Hadjar Dewantara melarang nama beliau dipakai untuk apa saja,” kata Agus.

Selain kesederhanaannya, Ki Hadjar Dewantara juga dikenal sebagai sosok yang humoris. Meskipun ia seorang yang tegas, dan keras, namun ada sisi humoris yang terselip dalam pribadi Ki Hadjar Dewantara.

Suatu hari Ki hadjar Dewantara sedang mencangkul di sekitaran rumahnya, saat itu ia hanya mengenakan sarung dan berkaos oblong. Tiba-tiba ada seorang tamu datang dan ingin bertemu dengan Ki Hadjar Dewantara. Tamu tersebut tidak mengetahui bahwa yang menjadi lawan bicara ketika itu adalah orang yang ia cari. Maka dengan segera Ki Hadjar Dewantara menyuruh tamu tersebut menunggu. Kemudian Ki Hadjar Dewantara masuk dan berganti pakaian untuk menemui tamu tersebut.

Cerita tersebut diperoleh Agus dari Nyi Iman Sudiyat, salah satu saksi sejarah yang masih sering menceritakan kembali kesehariannya dulu bersama Ki Hadjar Dewantara. Nyi Iman Sudiyat adalah teman dari putri Ki hadjar Dewantara sewaktu masih tinggal di pondok Taman Siswa dulu.
“Waktu itu ruangan perpustakan tersebut adalah pondokan putri,” cerita Agus seraya menunjuk bangunan perpustakaan.

Tentu masih banyak lagi inspirasi yang bisa diperoleh dari seorang Ki hadjar Dewantara. Selain semangatnya dalam melawan penindasan terhadap penjajahan, kesederhanaan dalam diri beliau patut diteladani. Persis seperti bunyi salah satu triloginya Ing Ngarsa Sung Tulada yang artinya “Di Depan Memberi Contoh”. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya memberi contoh, tetapi justru menjadi contoh bagi banyak orang. (Febrianto Adi Saputro)  

No comments: