Rumah Cimanggis |
Depok menyimpan banyak teka-teki
yang masih belum terjawab terkait asal-usul daerahnya. Sebagai kota yang sudah 18 tahun berdiri, belum ada kesepakatan untuk menetapkan tentang
bagaimana perjalanan Depok dari pertama kali ditemukan hingga kemudian berkembang
menjadi sebuah kota hingga saat ini.
Informasi dan literatur yang
menjelaskan secara runut sejarah kota yang terkenal dengan buah Belimbing
tersebut, sampai saat ini belum terinventarisasi secara lengkap. Termasuk informasi
mengenai sejarah rumah-rumah bergaya Belanda di Depok. Salah satu bangunan rumah
bergaya Belanda yang tersisa yang menyimpan kisah dan menjadi saksi dalam
perjalanan Kota Depok adalah rumah tuan tanah Cimanggis.
Rumah tuan tanah Cimanggis atau
dalam bahasa Belanda dikenal dengan Landhuis
Tjimanggis, berlokasi di Jalan Raya Bogor KM. 34 Komplek Radio Republik Indonesia
(RRI) RT 001/01, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ketua Depok Heritage Community (DHC), Ratu Farah Diba, ketika ditemui
oleh penulis di rumahnya, mengatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah Adriana
Johanna Bake, istri kedua Gubernur Jenderal Vereenigde
OostIndische Compagnie (VOC) (1761 – 1775) yang terkenal sangat kaya, Albertus van de Parra.
“Rumah Cimanggis ini adalah rumah
Johana, yaitu istri kedua Albertus van de Parra, Jadi sama istrinya ini, rumah
Cimanggis bukan dijadikan rumah utama, tetapi rumah peristirahatan,” katanya
membuka perbincangan di halaman rumahnya di dekat kolam yang penuh dengan ikan.
Rumah Cimanggis 2011 |
Rumah Cimanggis 1930 |
Depok tempo dulu (bahkan hingga saat ini) adalah sebuah daerah yang lokasinya amat strategis. Letaknya yang berada diantara Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta), menjadikan Depok sebagai kawasan yang tepat untuk beristirahat setelah perjalanan jauh dari Buitenzorg menuju Batavia atau sebaliknya.
Hal itu tampaknya disadari betul oleh
Albertus van de Parra. Dengan kekayaan yang ia punya, Parra membeli lahan
tersebut dari pemilik lahan sebelumnya, yaitu Cornelis Chastelein (1657-1714),
seorang mantan Gubernur VOC yang menjadi orang pertama yang membuka lahan hutan
di Depok dan mempekerjakan budak-budak yang nantinya ia merdekakan setelah ia
wafat, dan diberi otonomi untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Albertus van de Parra kemudian memanfaatkan
lahan tersebut sebagai pusat usaha pembukaan lahan hutan antara Jakarta dan
Bogor pada abad ke-18. Ia mempekerjakan budak-budak untuk menggarap semua lahan
perkebunan yang ia punya. Parra tidak hanya dikenal sebagai seorang tuan tanah
yang memiliki kebun karet yang sangat luas, ia juga dikenal karena perilakunya
yang korup.
Pada 28 Desember 1775 Albertus
van de Parra kemudian wafat. Pasca wafatnya Parra, Johanna pun menjanda. Dalam
buku yang ditulis Adolf Hueken berjudul Tempat-tempat
Bersejarah di Jakarta (1997) mengatakan bahwa rumah Cimanggis baru dibangun
oleh David J. Smith pada tahun 1775 – 1778 sebagai rumah kedua Johanna. Artinya
tepat di tahun Parra wafat, rumah tersebut baru dibangun.
Johanna juga dikenal sebagai
pemilik Pasar Cimanggis (yang saat ini dikenal dengan Pasar Pal) yang saat itu
dijadikan pos penting untuk beristirahat dan bertukar kuda bagi yang melakukan
perjalanan antara Batavia dan Buitenzorg.
1930 |
Setelah Johanna meninggal, rumah tersebut diwariskan kepada Smith. Namun karena terlilit hutang yang tak kunjung dibayar, akhirnya rumah tersebut disita. Semenjak abad ke-19, rumah tersebut berganti-ganti pemilik. Di tahun 1997, rumah tersebut pernah ditempati oleh pegawai RRI, namun hingga kini rumah dibiarkan kosong tak berpenghuni.
Saat ini kondisi rumah tersebut
sudah sangat memperihatinkan. Farah bercerita bahwa terakhir kali ia
mengunjungi rumah tersebut yaitu pada tahun 2016 lalu. Ia mengatakan bahwa
rumah tersebut saat ini terlihat banyak kerusakan dimana-mana.
“Saat ini kerusakan rumah
tersebut sudah mulai merambat, ornamennya sudah banyak yang hilang, seperti
pintu, jendela. Pilar kembar yang ada di rumah tersebut tampak sudah ambruk
satu, yang kanan saat ini sudah gak ada, adanya tinggal yang kiri,”
tuturnya..
Saat ini rumah tuan tanah
Cimanggis sudah berusia lebih dari 200 tahun, melihat penelantaran rumah
tersebut tampaknya belum ada keseriusan dari Pemerintah Kota Depok untuk
melindungi rumah tuan tanah yang memiliki nilai sejarah tersebut. Padahal
menurut Perda DKI No. 9 Tahun 1999, sebuah bangunan yang setidaknya berusia 50
tahun bisa dikategorikan sebagai cagar budaya. Selain itu payung hukum lainnya
terlihat dalam undang-undang 11 No. 2010 tentang cagar budaya, yang menjelaskan
tentang melindungi rumah yang memiliki nilai sejarah.
Permintaan untuk segera dijadikan
sebagai bangunan cagar budaya tampaknya menemui jalan buntu. Farah menjelaskan bahwa
DHC sebenarnya sudah mengupayakan berbagai cara agar rumah Cimanggis dapat
segera dijadikan bangunan bersejarah, namun pemerintah kota memiliki pemahaman
yang berbeda dengan apa yang dimaksud di dalam undang-undang cagar budaya
tersebut.
Pilar-pilar Serambi Depan |
Farah menambahkan, Padahal jika
dilihat pada pasal 12 undang-undang cagar budaya, kepemilikan itu tidak hanya
pemerintah, bisa siapa aja, bahkan bisa perorangan dan bisa yayasan. Tugas
pemerintah hanyalah menetapkan cagar budaya atas usulan dari tim ahli cagar
budaya.
Dulu sebelum undang-undang cagar
budaya tahun 1992 belum diubah, pengajuan cagar budaya ke Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) bangunan cagar budaya yang menetapkan adalah pihak BPCB,
namun kini harus melalui tim ahli cagar budaya yang dibentuk oleh pemerintah
kota. Sedangkan kendalanya bagi Depok sendiri, Depok belum memiliki tim ahli
cagar budaya.
“Nah ini yang kita juga belum
punya, tim ahli cagar budaya tingkat kota dan provinsi. Makanya kalau tim ahli
ada, pemerintah perannya adalah menetapkan atas usulan dari tim ahli tersebut,”
jelas Farah.
Oleh karena itu Farah berharap
agar upaya-upaya penyelamatan heritage harus lebih sering diekspos agar
pemerintah mau segera menyelamatkan peninggalan bersejarah, yaitu dengan cara
membuat karya tulis mengenai sejarah Depok.
“Saya suka mengusulkan kepada
sekolah-sekolah, semakin banyak mereka buat karya tulis, itu kan makin
diangkat, kalau enggak kan akan mati gitu aja seperti yang sudah-sudah,” ujarnya.
Saat ini belum banyak karya tulis
yang menggali tentang sejarah mengenai rumah Cimanggis tersebut. Berdasarkan
penelusuran penulis, hanya ada beberapa orang yang meneliti mengenai rumah
Cimanggis tersebut, yaitu Adolf Hueken (1997) dan Ellyza Tri Kurnia (2015),
seorang sarjana Arsitektur Universitas Indonesia yang secara khusus meneliti
tantang bentuk rumah Cimanggis melalui perspektif ilmu arsitektur.
Dalam tugas akhirnya tersebut,
Ellyza juga berharap agar rumah Cimanggis segera dijadikan cagar budaya dan
nantinya dapat difungsikan menjadi museum di kemudian hari. Namun meskipun
begitu, Farah mengakui Depok masih jauh untuk bisa memiliki museum sejarah
kotanya, melihat persyaratan-persyaratan pembuatan museum yang tidak mudah dan
artefak-arefak yang hilang akibat peristiwa masa lalu, membuat Farah pesimis
Depok memiliki museum yang menceritakan sejarah Kota Depok dalam waktu dekat.
“Kalaupun Depok ada museum, apa
yang ingin kita pamerkan? Foto? Itupun scan dari arsip nasional. Jadi masih
jauh kita kesana. Menetapkan sejarah Depok saja belum, apalagi membangun museum? kayaknya masih jauh
langkahnya,” ungkap Farah.
Meskipun begitu, Farah berharap pemerintah harus lebih memperdalam
pemahaman lagi mengenai undang-undang cagar budaya. Tidak harus dimiliki
pemerintah, karena dengan adanya peraturan daerah itu sudah menjadi payung
hukum.
Selain itu menurut Ellyza, jika dilihat dari nilai
sejarahnya, rumah tuan tanah Cimanggis layak dilestarikan karena menjadi saksi
bisu sejarah pembukaan hutan antara Jakarta dan Bogor, tempat tinggal dari
salah satu anggota keluarga Gubernur Jenderal VOC yang juga merupakan pemilik
pasar Cimanggis, berkisah tentang buruh tani, dan budak belian yang membuka
hutan dan rawa-rawa di sekitar Batavia. (Febrianto Adi Saputro)
Sumber Foto: Laporan Rumah Cimanggis Ellyza Tri Kurnia
Sumber Foto: Laporan Rumah Cimanggis Ellyza Tri Kurnia
No comments:
Post a Comment