Thursday, May 4, 2017

Rumah Tuan Tanah Cimanggis, Riwayatmu Kini


Rumah Cimanggis
Depok menyimpan banyak teka-teki yang masih belum terjawab terkait asal-usul daerahnya. Sebagai kota yang sudah 18 tahun berdiri, belum ada kesepakatan untuk menetapkan tentang bagaimana perjalanan Depok dari pertama kali ditemukan hingga kemudian berkembang menjadi sebuah kota hingga saat ini.

Informasi dan literatur yang menjelaskan secara runut sejarah kota yang terkenal dengan buah Belimbing tersebut, sampai saat ini belum terinventarisasi secara lengkap. Termasuk informasi mengenai sejarah rumah-rumah bergaya Belanda di Depok. Salah satu bangunan rumah bergaya Belanda yang tersisa yang menyimpan kisah dan menjadi saksi dalam perjalanan Kota Depok adalah rumah tuan tanah Cimanggis.

Rumah tuan tanah Cimanggis atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan Landhuis Tjimanggis, berlokasi di Jalan Raya Bogor KM. 34 Komplek Radio Republik Indonesia (RRI) RT 001/01, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ketua Depok Heritage Community (DHC), Ratu Farah Diba, ketika ditemui oleh penulis di rumahnya, mengatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah Adriana Johanna Bake, istri kedua Gubernur Jenderal Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC) (1761 – 1775) yang terkenal sangat kaya, Albertus van de Parra.

“Rumah Cimanggis ini adalah rumah Johana, yaitu istri kedua Albertus van de Parra, Jadi sama istrinya ini, rumah Cimanggis bukan dijadikan rumah utama, tetapi rumah peristirahatan,” katanya membuka perbincangan di halaman rumahnya di dekat kolam yang penuh dengan ikan.
Rumah Cimanggis 2011
Rumah Cimanggis 1930















Depok tempo dulu (bahkan hingga saat ini) adalah sebuah daerah yang lokasinya amat strategis. Letaknya yang berada diantara Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta), menjadikan Depok sebagai kawasan yang tepat untuk beristirahat setelah perjalanan jauh dari Buitenzorg menuju Batavia atau sebaliknya.

Hal itu tampaknya disadari betul oleh Albertus van de Parra. Dengan kekayaan yang ia punya, Parra membeli lahan tersebut dari pemilik lahan sebelumnya, yaitu Cornelis Chastelein (1657-1714), seorang mantan Gubernur VOC yang menjadi orang pertama yang membuka lahan hutan di Depok dan mempekerjakan budak-budak yang nantinya ia merdekakan setelah ia wafat, dan diberi otonomi untuk membentuk pemerintahan sendiri.

Albertus van de Parra kemudian memanfaatkan lahan tersebut sebagai pusat usaha pembukaan lahan hutan antara Jakarta dan Bogor pada abad ke-18. Ia mempekerjakan budak-budak untuk menggarap semua lahan perkebunan yang ia punya. Parra tidak hanya dikenal sebagai seorang tuan tanah yang memiliki kebun karet yang sangat luas, ia juga dikenal karena perilakunya yang korup.

Pada 28 Desember 1775 Albertus van de Parra kemudian wafat. Pasca wafatnya Parra, Johanna pun menjanda. Dalam buku yang ditulis Adolf Hueken berjudul Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1997) mengatakan bahwa rumah Cimanggis baru dibangun oleh David J. Smith pada tahun 1775 – 1778 sebagai rumah kedua Johanna. Artinya tepat di tahun Parra wafat, rumah tersebut baru dibangun.

Johanna juga dikenal sebagai pemilik Pasar Cimanggis (yang saat ini dikenal dengan Pasar Pal) yang saat itu dijadikan pos penting untuk beristirahat dan bertukar kuda bagi yang melakukan perjalanan antara Batavia dan Buitenzorg.

1930

Setelah Johanna meninggal, rumah tersebut diwariskan kepada Smith. Namun karena terlilit hutang yang tak kunjung dibayar, akhirnya rumah tersebut disita. Semenjak abad ke-19, rumah tersebut berganti-ganti pemilik. Di tahun 1997, rumah tersebut pernah ditempati oleh pegawai RRI, namun hingga kini rumah dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Rumah Cimanggis perlahan-lahan mengalami kerusakan fisik pada bangunannya akibat dimakan usia dan pengaruh cuaca. Dalam bukunya, Hueken juga mencatat rumah Cimanggis juga pernah mengalami kerusakan parah di tahun 1843 akibat gempa bumi hebat yang juga merusak bangunan Istana Bogor pada waktu itu.

Saat ini kondisi rumah tersebut sudah sangat memperihatinkan. Farah bercerita bahwa terakhir kali ia mengunjungi rumah tersebut yaitu pada tahun 2016 lalu. Ia mengatakan bahwa rumah tersebut saat ini terlihat banyak kerusakan dimana-mana.

“Saat ini kerusakan rumah tersebut sudah mulai merambat, ornamennya sudah banyak yang hilang, seperti pintu, jendela. Pilar kembar yang ada di rumah tersebut tampak sudah ambruk satu, yang kanan saat ini sudah gak ada, adanya tinggal yang kiri,” tuturnya..

Saat ini rumah tuan tanah Cimanggis sudah berusia lebih dari 200 tahun, melihat penelantaran rumah tersebut tampaknya belum ada keseriusan dari Pemerintah Kota Depok untuk melindungi rumah tuan tanah yang memiliki nilai sejarah tersebut. Padahal menurut Perda DKI No. 9 Tahun 1999, sebuah bangunan yang setidaknya berusia 50 tahun bisa dikategorikan sebagai cagar budaya. Selain itu payung hukum lainnya terlihat dalam undang-undang 11 No. 2010 tentang cagar budaya, yang menjelaskan tentang melindungi rumah yang memiliki nilai sejarah.

Permintaan untuk segera dijadikan sebagai bangunan cagar budaya tampaknya menemui jalan buntu. Farah menjelaskan bahwa DHC sebenarnya sudah mengupayakan berbagai cara agar rumah Cimanggis dapat segera dijadikan bangunan bersejarah, namun pemerintah kota memiliki pemahaman yang berbeda dengan apa yang dimaksud di dalam undang-undang cagar budaya tersebut.

Pilar-pilar Serambi Depan
“Jadi di otak pemerintah ini bahwa kalau kita ingin menetapkan itu bangunan bersejarah sebagai cagar budaya, harus menjadi aset pemerintah dulu. Jadi mau gak mau mereka harus beli,” tutur wanita yang gemar bersepeda onthel tersebut.

Farah menambahkan, Padahal jika dilihat pada pasal 12 undang-undang cagar budaya, kepemilikan itu tidak hanya pemerintah, bisa siapa aja, bahkan bisa perorangan dan bisa yayasan. Tugas pemerintah hanyalah menetapkan cagar budaya atas usulan dari tim ahli cagar budaya.

Dulu sebelum undang-undang cagar budaya tahun 1992 belum diubah, pengajuan cagar budaya ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) bangunan cagar budaya yang menetapkan adalah pihak BPCB, namun kini harus melalui tim ahli cagar budaya yang dibentuk oleh pemerintah kota. Sedangkan kendalanya bagi Depok sendiri, Depok belum memiliki tim ahli cagar budaya.

“Nah ini yang kita juga belum punya, tim ahli cagar budaya tingkat kota dan provinsi. Makanya kalau tim ahli ada, pemerintah perannya adalah menetapkan atas usulan dari tim ahli tersebut,” jelas Farah.
Oleh karena itu Farah berharap agar upaya-upaya penyelamatan heritage harus lebih sering diekspos agar pemerintah mau segera menyelamatkan peninggalan bersejarah, yaitu dengan cara membuat karya tulis mengenai sejarah Depok.

“Saya suka mengusulkan kepada sekolah-sekolah, semakin banyak mereka buat karya tulis, itu kan makin diangkat, kalau enggak kan akan mati gitu aja seperti  yang sudah-sudah,” ujarnya.

Saat ini belum banyak karya tulis yang menggali tentang sejarah mengenai rumah Cimanggis tersebut. Berdasarkan penelusuran penulis, hanya ada beberapa orang yang meneliti mengenai rumah Cimanggis tersebut, yaitu Adolf Hueken (1997) dan Ellyza Tri Kurnia (2015), seorang sarjana Arsitektur Universitas Indonesia yang secara khusus meneliti tantang bentuk rumah Cimanggis melalui perspektif ilmu arsitektur.

Dalam tugas akhirnya tersebut, Ellyza juga berharap agar rumah Cimanggis segera dijadikan cagar budaya dan nantinya dapat difungsikan menjadi museum di kemudian hari. Namun meskipun begitu, Farah mengakui Depok masih jauh untuk bisa memiliki museum sejarah kotanya, melihat persyaratan-persyaratan pembuatan museum yang tidak mudah dan artefak-arefak yang hilang akibat peristiwa masa lalu, membuat Farah pesimis Depok memiliki museum yang menceritakan sejarah Kota Depok dalam waktu dekat.

“Kalaupun Depok ada museum, apa yang ingin kita pamerkan? Foto? Itupun scan dari arsip nasional. Jadi masih jauh kita kesana. Menetapkan sejarah Depok saja belum,  apalagi membangun museum? kayaknya masih jauh langkahnya,” ungkap Farah.

Meskipun begitu, Farah berharap pemerintah harus lebih memperdalam pemahaman lagi mengenai undang-undang cagar budaya. Tidak harus dimiliki pemerintah, karena dengan adanya peraturan daerah itu sudah menjadi payung hukum.

Selain itu menurut Ellyza, jika dilihat dari nilai sejarahnya, rumah tuan tanah Cimanggis layak dilestarikan karena menjadi saksi bisu sejarah pembukaan hutan antara Jakarta dan Bogor, tempat tinggal dari salah satu anggota keluarga Gubernur Jenderal VOC yang juga merupakan pemilik pasar Cimanggis, berkisah tentang buruh tani, dan budak belian yang membuka hutan dan rawa-rawa di sekitar Batavia. (Febrianto Adi Saputro)




Sumber Foto: Laporan Rumah Cimanggis Ellyza Tri Kurnia

No comments: