Berawal dari seorang teman yang menulis tentang sejarah rumah Tjimanggis di blognya, baru saya ketahui saat ini rumah tersebut kondisinya sudah semakin hancur tak terawat. Saya juga mendengar dari salah satu rekan dari Depok Heritage Club (DHC), bahwa banyak bagian dari rumah itu yang di'preteli' oleh pemulung-pemulung untuk mereka jual. Kondisi ini terlihat miris, Padahal rumah tersebut dulunya memiliki sejarah panjang dan punya cerita yang cukup unik. (Cerita tentang Rumah Tjimanggis bisa dilihat di
Rumah Tuan Tanah Tjimanggis |
Rumah Tuan Tanah Tjimanggis saat ini |
Belum lama ini saya mendengar kabar dari Ibu Farah Diba, salah satu pengurus DHC, bahwa ada salah satu situs bersejarah di daerah Pekapuran yang dibongkar dan akan dijadikan gudang obat. Jauh sebelum itu, sebuah bangunan bersejarah di kawasan Depok, tepatnya di Jl. Kartini, samping Kantor Kecamatan Pancoran Mas, kini telah disulap menjadi SPBU. Lalu rumah tua Pondok Cina juga telah lebih dulu disulap menjadi Margo City. Memang dibagian depan disisakan sedikit dari rumah itu (yang kini menjadi Cafe Old House Margo City) namun keberadaannya kini juga terancam akibat proyek pembangunan apartemen di depan Mall tersebut.
Eksekusi pembongkaran situs di Pekapuran, Depok |
Lalu muncul pertanyaan dalam benak saya, "mengapa Pemerintah Kota Depok begitu mudah membiarkan hal demikian terjadi? mengapa tidak ada perhatian khusus terhadap bangunan-bangunan bersejarah di Kota Depok?". Entah saya harus bertanya kepada siapa, dan entah siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini, tapi dalam hati saya sebagai penduduk yang telah lama menetap di Depok merasa gelisah akan hal ini.
Saya merasa saya harus melakukan sesuatu, bertindak sesuatu untuk bangsa ini perbuatan sekecil mungkin untuk dampak yang berbuah besar. Entah dengan cara seperti apa tapi saya bertekad untuk memberikan sesuatu sumbangsih bagi bangsa ini, dimulai dari lingkup wilayah terkecil, yaitu Kota Depok.
Saya berpikir saya tidak akan bisa melawan pemerintah. Kemudian saya berpikir kembali, kalau begitu, apakah harus menjadi walikota/gubernur/penguasa baru bisa memberikan sesuatu untuk bangsa ini? sebab penguasalah yang punya kendali atas semuanya. maka percuma jika saya meraung-raung kepada penguasa apa yang saya gelisahkan, kalau pada akhirnya penguasa tidak mau dengar. Mau tidak mau, kitalah yang harus menjadi penguasa. Penguasa yang mau mendengar dan melihat kegelisahan rakyatnya. Apakah bapak walikota tahu apa yang saya gelisahkan ini? saya rasa tidak.
Beberapa hari lalu saya membaca berita di web Tempo bahwa Wakil Gubernur Banten, Rano Karno siap jika harus menggantikan Atut (Sang Penguasa yang tersandung kasus korupsi). Selama menjadi wakil gubernur, ia selalu merasa tertekan dan gelisah. Disitu Rano Karno memberikan pernyataan bahwa ia gelisah melihat di Banten tidak ada Museum, padahal itu penting, malah ia melihat di Amsterdam terdapat literatur tentang Banten.
Lihat selengkapnya di http://www.tempo.co/read/news/2013/10/23/058523969/15-Tahun-Jadi-Wagub-Banten-Rano-Saya-Tertekan
Saya rasa ini juga yang dialami oleh Kota Depok, yaitu tidak adanya Museum. Padahal Depok memiliki sejarah panjang sebagai daerah penghubung dari Buitenzorg (Bogor) ke Batavia (Jakarta). Ada beberapa literatur tentang Depok yang terdapat di beberapa museum di Bogor. Saya juga pernah bertanya atas kegelisahan saya ini tentang penting adanya Museum di Depok kepada DHC, dan mereka juga sedang mengusahakannya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi nanti.
Demikian beberapa kegelisahan yang saya sudah agak lama saya pikirkan dan baru di awal tahun 2014 ini saya ceritakan. Kita harap tahun 2014 ini menjadi tahun yang baik untuk kita, untuk Kota Depok, dan untuk bangsa kita tercinta, INDONESIA!
Febrianto Adi Saputro
(FLAIsFebri) 4 Januari 2014 16:45
2 comments:
Mungkin karena gak belajar filsafat ya para petingginya??
ya begitulah, mereka belum 'melek' akan pentingnya sejarah
Post a Comment