Saat sedang melamun
(melamuni kamu hehe), tiba-tiba muncul ide untuk bercerita tentang evolusi
musik yang terjadi dalam hidup saya (bahasannya sok berat). Tapi pertama-tama,
saya coba jelasin dulu kenapa judulnya evolusi, dan kenapa bukan revolusi atau
resolusi? Jadi begini, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara
terminologis, “evolusi” itu artinya proses perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur
dan singkat (meskipun gak sesingkat masak Indomie). Sedangkan kalau “revolusi”
itu butuh rentang waktu yang lama. Begitu juga perubahan selera musik saya yang
alami. Setelah merefleksikan diri, saya menangkap suatu kesimpulan, ternyata
selera musik saya mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dan musik sangat
mempengaruhi saya ketika itu sampai saat ini. Sebelumnya, mungkin yang saya
ceritakan disini adalah evolusi selera musik yang terjadi pada diri saya
khususnya berkisar musik-musik penyanyi / band lokal dulu, kalau evolusi musik selera
musik barat yang saya alami mungkin akan saya ceritakan di lain kesempatan.
Cerita ini dimulai dari
saya kecil yaa. Saya dibesarkan bukan dari keluarga pemusik, tapi hampir sebagian
keluarga di tempat saya tinggal bisa bermain musik. Nenek saya bisa bermain keyboard,
om saya bisa bass dan gitar (namanya Heru / Yosua, main gitarnya lumayan jago),
sepupu bisa bermain gitar, dan keyboard (Joko / Hizkia ini dulu punya band
namanya Edelweiss, dan dia pegang keyboard), sedangkan saya (SAYA BISA APA?
Hehe) bisa sedikit-sedikit bermain gitar, drum, dan suling (lagu hymne guru dan
mengheningkan cipta kayaknya lagu wajib pastinya). Kemampuan bermusik saya
mulai berkembang di waktu SMP. Nanti akan saya ceritakan
Sewaktu kecil, Mama
selalu membeli kaset lagu anak-anak, mulai dari Josua, Maisy, Chikita Meidy,
Trio Kwek-kwek (salah satu personelnya udah ada yang nikah), Kiky (yang mirip
Boboho), dan beberapa artis cilik lainnya yang namanya gak setenar artis-artis
yang saya sebut diatas. Lagu kesukaan saya kala itu judulnya “bintangku” (kalau
gak salah). Selain liriknya yang bagus tentang nama-nama zodiak (sampai
sekarang masih hafal lagunya), penyanyinya juga cantik (padahal waktu itu masih
kecil tapi udah tahu cewek cantik hehe). Selain itu Mama punya kaset-kasetnya Obie
Mesakh, Nia Daniaty, Panbers, Koes Ploes, Grace Simon, dll, dan beliau suka
nyetel itu sambil bersih-bersih rumah, masak atau ketika santai. Sambil denger
lagu-lagu itu kadang saya nanya “ini yang nyanyi siapa mah?”, dan Mama menjawab
“ini Obie Messakh, orangnya sudah meninggal”. Dan biasanya saya jadi takut denger
lagunya, soalnya mikir dengerin suara orang yang udah meninggal jadi ketakutan
tersendiri buat saya waktu itu.
Masih di masa
kanak-kanak, dulu lagu anak-anak masih gampang ditemuin, baik kaset, radio, dan
di TV ada lagu anak-anak. Sampai waktu itu ada acaranya di TV, nama
acaranya “Tralala-Trilili” (bisa di cek
di Youtube, pembawa acaranya Agnes Monica). Dulu gak pernah ketinggalan sama
acara ini, kalau gak salah jam 3 sore di RCTI. Favorit banget deh tuh acara
pokoknya. Sekarang hampir susah ditemuin lagu yang ber-konten anak-anak. Bahkan
acara musik lagu anak-anak udah gak ada lagi. Beruntung lah kita yang hidup di
masa itu.
Hari berganti hari,
presiden berganti wakil, saya pun tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang
mulai ‘liar’. Saya mulai suka dengan yang namanya lagu-lagu pop yang
ditayangkan di MTV (dulu di tayang di ANTEVE dan kemudian pindah ke Global TV),
dan saya menyukai lagu-lagu semacam Dewa 19, Sheila on 7, Padi, dan band-band yang
bermunculan pada saat itu. Untuk mendengar lagu-lagu mereka satu-satunya sumber
ya di MTV itu, sebab waktu itu masih belum punya uang untuk beli kaset. Baru
sejak SMP, saya mulai rajin beli kaset, mulai dari Peterpan (Alexandria), Ada
Band (Wanita Ingin Dimengerti), Dewa (Laskar Cinta, dan Republik Cinta), sampai
RADJA! (Saya tidak tahu kenapa dulu saya beli kaset Radja, dan sekarang saya
pikir hal itu adalah suatu kebodohan yang saya lakukan waktu itu HAHA). Yah itu
lah, lagu-lagu itu muncul di saat masa anak-anak SMP yang baru mengenal ‘dunia’
dan cinta.
|
Sayang MTV sudah gak ada lagi |
Suatu saat, ketika saya
masih SMP, saya coba mengutak-atik tempat kaset, saya menemukan kaset Iwan Fals!
Wah senangnya bukan main, langsung ketika itu saya mainkan di Tape tercinta dan
hasilnya, “PANGGIL AKU BENTO!”. Saya ketahui ternyata kaset itu adalah milik
Bapak. Dengan cepat musik-musik Iwan Fals mampu mendobrak kecengengan saya akan
selera musik yang mendayu sendu waku itu. Menyusul ketika itu Slank juga
menjadi favorit. Sejak saat itu saya suka dengan lagu-lagu yang berlirik nakal
dengan distorsi yang mengalun liar ditelinga. Saya tidak terlalu menggemari
Slank sebenarnya, hanya beberapa lagu saja yang saya suka, tapi saya pernah
beli pin-nya (bukan pin BB) yang saya pasang di dompet kala itu (kebayang
dompetnya setebel apa?)
|
Ini cover om Obie Messakh yang Mama punya |
|
Bang Iwan sang pendobrak |
|
Majalah RS INA menjuluki mereka "The Lucky Bastard |
Masa SMP adalah masa
dimana selera musik saya masih labil, ketika ada Steven and Coconut Treez
muncul di layar kaca, saya langsung menyukai lagu-lagu mereka, terutama single
pertama mereka yang berjudul “Welcome To My Paradise”. Kocokan gitar reggae
yang terdengar seperti ogah-ogahan dan ketukan drumnya yang simpel berhasil
membuat saya mengangguk-ngangguk dan berkata “Yomaaan, rastamaniaaa~”. Ditambah
lagi teman saya mencekoki saya dengan lagu-lagu Om Toni Q dan Souljah, membuat
saya semakin cinta dengan musik dan gaya anak reggae yang gimbal itu. Bayangkan
saja, gara-gara demam reggae, mulai dari gelang karet, baju, stiker di sepeda,
sampai background Friendster (buat yang gak tau, Friendster itu kalau sekarang
semacam Facebook atau Twitter) waktu itupun serba merah-kuning-hijau (jijik banget
ya? HAHA). Yah lagi-lagi itulah
kehidupan anak SMP yang cenderung masih labil.
|
Kehadiran mereka membuat virus merah-kuning-hijau di kehidupan saya |
Lalu ketika kelas 3 SMP
(ini kisah nyata), ada salah satu teman yang melihat ketertarikan saya terhadap
musik cukup besar, maka teman saya mengajak untuk bikin band dalam rangka
tampil di pentas seni (pensi) di SMP. Terjadilah
percakapan diantara kami, kurang lebih gini percakapannya:,
Dori / Ricco (alias
peyek): “Kita bikin band yuk, buat tampil di Pensi wakilin anak 3.6. Lu bisa
main apa feb?”
*Seketika saya jawab*
Febri: “Gue bisa kok
drum”
Dan taukah anda, saya
belum pernah main drum sebelumnya, melihat dan menyentuh langsung saja belum
pernah! Nekat betul saya waktu itu. Tapi karena saya punya kebiasaan suka
pukul-pukul sofa dirumah (dengan stik drum beneran yang didapat dari tugas
kelompok waktu SD) jadi dikit-dikit bisa lah dengan membayangkan drum beneran. Cuma
kendalanya adalah saya belum bisa mainin pedal drum, karena biasanya cuma
pukul-pukul di sofa rumah (yang kalau dipukul berdebu). Alhasil kami pun mencoba
latihan dan hasilnya NO PROBLEM! Saya bisa sedikit-sedikit. Memang di awal
sempat kesulitan, namun bisa lancar ketika sudah terbiasa, ini namanya PASSION
yang bermula dari OBSESI.
Akhirnya kami
memutuskan membawa dua lagu, “Munajat Cinta” (Dewa 19), dan “KETAHUAN” (Mata
Band) haha. Band kami terdiri dari 5 orang, ada Ricco (vocal), Dori (melod),
Agus (bass), Andre (gitar), dan saya (DRUM!). Kami hanya membawakan satu lagu,
sebab satu lagu kami sudah dibawakan oleh band lain, dan lagu yang diambil itu
adalah “Munajat Cinta”, itu artinya kita membawakan lagu apa ada yang tau?
Iyak! lagu “ketahuan” saja. Karena hanya membawakan satu buah lagu, maka Ricco sang
vokalis mengulang-ulang bagian reff-nya berkali-kali, “Oo.. kamu ketahuan..
pacaran lagiih” dan penonton pun moshing (semacam joget tapi ngadu badan dan
kadang mukul-mukulin orang didepannya)
Itulah pengalaman
manggung pertama, seru, meski lagu yang dibawain gak seru. Haha (sayang gak ada dokumentasinya nih)
|
Majalah Favorit |
Masuklah sekarang ke
zaman SMA, pengetahun akan band indie mulai masuk. Sepertinya orang yang cukup
berpengaruh dalam memberi pengetahuan bermusik saya adalah sepupu saya, Mas
Joko. Ia kerap menunjukkan lagu-lagu lawas baik luar maupun dalam negeri. Tidak
hanya itu kadang memberi pengetahuan tentang band-band indie. Pengetahuan musik
yang saya dapat juga dari majalah musik, yaitu RollingStone. Tiap ada edisi
khusus, saya selalu beli majalah ini. Ternyata majalah ini cukup membantu saya untuk
mengeksplorasi lebih jauh band-band indie ini. Majalah ini kerap membahas
band-band indie seperti Efek Rumah Kaca (ERK), SORE, WSATCC, Superglad, Sir
Dandy, The Brandals, dan lain-lain. Saya lupa punya majalah RS berapa, tapi yang pasti setiap edisi khusus saya beli (saking banyaknya). Ketika diajak ngeband oleh
teman-teman, saya ingin sekali band yang mereka buat ber-genre seperti
band-band indie diatas. Tapi apalah daya, saya malah diajak main di band metal.
Ya, saya memang pernah bergabung dengan band teman saya yang ternyata beraliran
metal. Mereka membutuhkan seorang drummer. Tapi saya memutuskan untuk tidak
melanjutkan, gak sanggup bro haha belum cukup mahir kearah musik-musik kaya
gitu. Alhasil ngeband gak pernah awet, selalu kandas ditengah jalan (sedih ya?).
|
White Shoes and The Couples Company |
Setelah semakin sering
mendengar musik band indie, pengaruh White Shoes and The Couples Company
(WSATCC) sangat masuk dengan saya yang ketika SMA sampai sekarang menyukai
hal-hal yang berbau retro, klasik, vintage, dll. Saya suka gaya mereka,
lagu-lagu mereka, dan akhirnya membuat saya harus mencari-cari lagu-lagu lawas.
Ketika sedang berkunjung ke blog teman, ia menampilkan sebuah link yang
didalamnya berisi foto-foto dan musik-musik dokumentasi.
|
Frankie and Jane "Musim Bunga" |
Setelah saya cek
ternyata didalamnya banyak sekali lagu-lagu lawas Indonesia dari tahun 1900 –
2000an. Setelah melakukan penelusuran, saya menjadi semakin suka dengan
lagu-lagu lama, seperti Lilis Suryani, Frankie and Jane, Kerontjong Orchest
Eurasia, Andriani, dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, hampir isi di folder
lagu-lagu saya saat ini kebanyakan lagu-lagu lawas baik dalam maupun luar
negeri. Secara tidak langsung lagu-lagu lawas mampu membawa suasana kita
kembali disaat dimana kita mendengarkan lagu itu pertama kali. Selain itu
kekhasan yang dimunculkan lagu-lagu lawas memang berbeda dengan musik-musik
kontemporer.
|
Casiopea "The Legend" |
Selain musik-musik
indie, saya juga sebenarnya pendengar musik Jazz, dan itu pun tetap saja
lagu-lagu lama yang saya dengar. Seperti John Coltrane, Horace Silver, Miles
Davis, dll. Tapi hanya sebatas menjadi penikmat saja kok, tidak terlalu fanatik
terhadap musik Jazz. November 2013 kemarin saya datang ke konser Jazz yang
diadakan oleh Economics Jazz FEB UGM. Tahun ini mereka menampilkan Marcel,
Raisa, dan diiringi oleh Idang Rasjidi, Mus Mujiono, Echa Soemantri, dan satu
orang anak laki-laki usia 15 tahun yang sudah handal dalam bermain bass (lupa
namanya siapa). Bintang tamu utama yang dihadirkan oleh mereka tahun ini adalah
Casiopea 3rd, sebuh band asal Jepang yang sudah tiga kali ganti formasi
personil. Penampilan yang mereka hadirkan malam itu sangat memukau, konser
selama kurang lebih tiga jam itu dihadiri oleh banyak penonton yang ingin
menyaksikan legenda musik Jazz dari negeri sakura itu, bahkan salah satu dari
penonton tersebut adalah Pak Pratino selaku Rektor UGM. Maret 2014 nanti
dengar-dengar Earl Klugh akan dihadirkan, semoga saya ada kesempatan untuk menyaksikannya.
Selera musik saya dari
waktu-ke waktu memang mengalami evolusi yang cukup beragam, mulai dari masa
kanak-kanak mendengarkan lagu anak-anak, masuk ke zaman lagu Pop dengan
lirik-lirik bertema cinta, kemudian masuk era Iwan Fals, Slank, dan musik
reggae di SMP, hingga pengaruh musik indie pada saat beranjak dewasa. Tapi satu
hal yang saya pahami disini bahwa musik ternyata dapat mempengaruhi seseorang,
ungkapan “YOU ARE WHAT YOU HEAR” mungkin ada benarnya juga. Sekarang saya tidak
membatasi genre dalam mendengarkan musik. Apa yang yang saya dengar membuat
saya nyaman, ya saya dengarkan. Sampai sekarang saya masih menyukai lagu
anak-anak, Koes Ploes, lagu-lagu Iwan Fals, Slank, lagu-lagu Reggae, Pop,
Melayu, Kerontjong Stamboel, musik-musik indie, Jazz, selagi itu nyaman di
telinga saya, mengapa tidak?