Pengalaman pertama selalu menyisakan kesan yang mendalam bagi setiap pribadi seseorang, apalagi cerita mengenai pengalaman ke luar negeri. Saya beruntung lantaran pengalaman pertama saya ke luar negeri adalah untuk menjenguk istri Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono) yang dirawat di National University Hospital (NUH) Singapura sejak Februari 2019 lalu akibat sakit kanker darah yang dideritanya.
Cerita ini berawal dari sebuah pesan yang masuk melalui aplikasi pesan singkat di gawai saya pada 29 Mei 2019. Pesan tersebut dikirim oleh salah seorang koordinator liputan di media tempat saya bekerja. Beliau biasa yang memberikan penugasan kepada para reporter di desk nasional dan kabar kota.
"Bro, punya paspor nggak?," tanyanya ketika itu.
Kebetulan, belum lama ini saya baru saja memperpanjang paspor setelah sekian lama punya paspor namun tidak pernah saya gunakan ke mana-mana. Mengetahui saya memiliki paspor yang baru saja diperpanjang, sang korlip akhirnya meminta saya agar berangkat untuk dinas luar negeri (DLN).
Singkatnya, narahubung tersebut memberikan saya sebuah undangan untuk menjelaskan agenda apa yang akan saya liput di Singapura nantinya. Sebuah kop surat bertuliskan 'Gerakan Suluh Kebangsaan' tercantum di bagian atas surat.
Dalam keterangan surat tersebut, diketahui bahwa Mahfud sebagai ketua gerakan tersebut beserta sejumlah tokoh masyarakat akan bersilaturahmi dengan SBY di rumah sakit tempat ibu Ani dirawat. Surat undangan tersebut juga terlihat ditandatangani oleh putri Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid yang bertindak sebagai wakil sekjen Gerakan Suluh Kebangsaan.
Dalam benak saya berpikir, sejumlah tokoh yang akan berkunjung ke sana pasti bukan tokoh-tokoh sembarangan. Dua tokoh yang tercantum di dalam surat undangan peliputan itu saja bisa dibilang tokoh yang menurut saya tokoh yang cukup saya segani.
Ternyata benar saja, sehari sebelum kami terbang ke Singapura, Gerakan Suluh Kebangsaan juga mengunjungi kediaman Presiden RI ke-3 Baharuddin Jusuf Habibie. Sejumlah tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya istri presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Shinta Nuriyah, pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng Gus Sholah, mantan menteri BUMN di era Yudhoyono, Dahlan Iskan dan sejumlah tokoh rohaniawan dan cendekiawan seperti Muhammad Quraish Shihab, Romo Benny Susetyo, Franz-Magnis Suseno.
SINGGAH DI CLARKE QUAY
Setelah saling mengabarkan satu sama lain untuk keperluan tiket pesawat, kami pun berjanjian di bandara pada 2 Mei 2019. Ketika itu kami janjian untuk bertemu di salah satu restoran di dekat pintu 11 Bandara Soekarno-Hatta. Setelah melalui proses pemeriksaan yang cukup merepotkan, akhirnya kami bertemu di tempat yang sebelumnya dijanjikan.
Saya pun bertemu dengan Mas Iksan, salah seorang jurnalis Kompas yang istrinya juga merupakan seorang jurnalis di Republika. Kebetulan Reporter yang kebetulan bisa berangkat ternyata hanya kami berdua.
Sebetulnya pihak Gerakan Suluh Kebangsaan tadinya juga mengundang wartawan dari media televisi untuk bisa ikut, hanya saja untuk perizinannya kemudian menjadi agak sulit, sehingga yang berangkat hanya kami berdua wartawan media cetak.
Kami take-off pukul 11.30 WIB dengan pesawat Garuda dan tiba pukul 14.30 waktu setempat. Perbedaan antara Indonesia dengan SIngapura hanya satu jam. Setibanya di Changi International Airport, kami disambut oleh imigrasi. Setelah selesai menyelesaikan persoalan administrasi, kami pun menanti taksi yang akan membawa kami ke penginapan.
Sepanjang perjalanan, dari bandara menuju arah kota, mata ini disuguhkan dengan berbagai macam bentuk gedung dengan nomor di tiap-tiap gedung. Entah apa maksudnya apa dari nomor-nomor itu, mungkin untuk mempermudah seseorang untuk mencari alamat.
Tidak hanya itu, kesan rapi dan bersih begitu terlihat di sepanjang jalan menuju tempat kami menginap. Jumlah pengendara sepeda motor juga tidak begitu merayap seperti di Jakarta. Bahkan jarang sekali saya melihat sepeda motor berlalu lalang di jalanan Singapura. Salah seorang di rombongan kami mengatakan bahwa pemerintah Singapura memang membatasi jumlah penjualan kendaraan di negaranya. Lalu dengan apa masyarakat Singapura berpergian sehari-hari? Pertanyaan tersebut ternyata terjawab setelah kami tiba di penginapan.
Usai menikmati suasana kota dari balik jendela taksi yang kami tumpangi, kami pun tiba di sebuah hotel di daerah Clarke Quay Street. Tempat kami menginap ternyata tidak jauh dari pusat kuliner di Clarke Quay. Tempat tersebut ternyata ramai saat malam menjelang tengah malam hari.
Saya dan Mas Iksan (wartawan Kompas) berjanjian untuk berkeiling terlebih dahulu di sekitaran hotel. Usai menyimpan barang dan beres-beres kami pun akhirnya turun dan janjian di lobi hotel.
Sebuah bangunan dengan desain ala rumah seperti di film-film cowboy terlihat berjajar rapi di depan hotel tempat kami menginap. Mas Iksan pun berfoto dengan latar belakang rumah itu. Sedangkan saya berfoto dengan latar papan jalan bertuliskan Clarke Quay.
Tidak jauh dari tempat kami berfoto, terlihat sebuah sungai yang cukup lebar. Kapal-kapal wisata terlihat berjajar menunggu wisatawan yang ingin menyewa kapal tersebut untuk menyusuri sungai.
"25 dollar Singapura sekali jalan," kata Mas Iksan ketika itu.
Bagi Mas Iksan, kunjungannya ke SIngapura bukanlah yang pertama kali. Baginya, ini adalah kali kedua ke Singapura. Bahkan dirinya juga berencana kembali ke Singapura dalam waktu dekat bersama keluarganya.
Setelah puas berfoto dan melihat-lihat suasana Clarke Quay di waktu sore, kami kembali lobi hotel untuk bertemu dengan rombongan lainnya. Kami berencana berkeliling kota di Singapura dengan menggunakan MRT.
MRT di Jakarta saja belum pernah, kali ini untuk pertama kalinya saya justru naik MRT di Singapura. Dari hotel kami pun memutuskan untuk menuju stasiun MRT terdekat, yaitu Fort Canning Park.
Setibanya di Stasiun Fort Canning Park, kami memperhatikan terlebih dahulu sebuah peta besar yang terpampang di stasiun sebelum kami memutuskan kemana kami akan turun untuk transit. Kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Orchard Road.
Kami akhirnya membeli lima tiket standard di sebuah mesin tiket. Karena dirasa tidak cukup efektif karena kami akan keluar masuk di banyak stasiun, kami pun akhirnya diberi tahu oleh salah seorang petugas untuk membeli tiket tourist pass di Stasiun Chinatown.
Kami bergerak ke Chinatown untuk membeli tiket tersebut.
Masing-masing dari kami menerima satu tiket tourist pass. Bentuk fisiknya serupa seperti kartu, berbeda dengan tiket standard yang seperti berbahan kardus yang mungkin saja mudah rusak.
Di akhir perjalanan, kartu yang kami terima tersebut bisa diuangkan kembali.
Dari Chinatown, kami menuju ke Orchard. Orchard mengingatkan saya dengan pedestrian di sepanjang jalan Thamrin-Sudiman saat ini, hanya saja di sepanjang Orchard dipenuhi banyak sekali pusat perbelanjaan. Kami tak sempat mencicipi es yang katanya terkenal di jalan tersebut, padahal beberapa pedagang terlihat menjajakan dagangannya di sepanjang jalan itu.
Kami melanjutkan langkah kami untuk menuju Marina Bay. Sepanjang perjalanan dari Orchard menuju Marina Bay, saya diajarkan tentang bagaimana kebiasaan di sana saat menggunakan eskalator. Sebelumnya situasi tersebut sebenarnya juga saya temui di Indonesia, tetapi belakangan saya menyadari kebiasaan tersebut hanya dibiasakan di tempat tertentu dan oleh orang-orang tertentu saja.
Sebagai contoh, saya pernah ditegur oleh seseorang di Stasiun Palmerah lantaran berdiri di sisi kanan eskalator. "Kanan buat yang jalan mas," kata orang tersebut menegur saya ketika itu. Saya belum mengerti ketika itu lantaran kesalahan saya karena tidak melihat ada peringatan sebelum menaiki eskalator.
Sedangkan sepanjang saya berkeliling SIngpura, baik itu di pusat perbelanjaan atau di stasiun, semua yang diam di eskalator berada di sisi sebelah kiri, sedangkan orang yang buru-buru atau sembari berjalan mereka berada di sebelah kanan. Hal itu pun berimbas pada saya ketika kembali ke Indoesia.
Kami tiba di sekitaran Marina Bay Sands sore hari menjelang petang. Matahari terlihat sudah mengintip di antara tingginya pencakar langit. Aktifitas di sekitaran Marina Bay dipenuhi dengan orang-orang yang tengah berjogging dan bersepeda. Begitu kontras dengan kedai-kedai yang berada di luar Mall yang menjajakan beer dan vodka.
Sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke hotel, kami kompak memutuskan untuk mencari makan. Tidak mudah bagi kami ketika itu mencari makan, pasalnya posisi kami dari food court lumayan cukup jauh. Akhirnya sebagian besar dari rombongan memilih salah satu stand di food court tersebut yang yang dirasa menjual makanan halal.
Saya memutuskan untuk mencari tempat terlebih dahulu mengingat kondisi food court saat itu sangatlah ramai. Usai mendapatkan tempat dan rombongan juga telah memesan makan, kini giliran saya yang memesan makan. Saya memesan nasi kuning dengan udang dan ikan, serta air mineral.
"25 dollar," kata si pramusaji tersebut.
Mendengar harganya saya cukup kaget karena menurut saya harga tersebut cukup mahal untuk sebuah nasi kuning. Itu artinya saya menghabiskan 250 Ribu Rupiah untuk makan malam saja dengan kocek pribadi. Tetapi saya cukup memahami lantaran food court di tempat kami makan berada di mall di pusat kota Singapura. Nasi kuning itu kemudian menjadi nasi kuning termahal yang pernah saya beli.
Seusai menyantap hidangan tersebut, kami pun kembali berkeliling menikmati suasana malam di sekitar Marina Bay.
Saya dan Mas Iksan beranjak ke Helix Bridge. Sedangkan rombonga yang lain memilih kembali ke hotel duluan.
Helix Bridge terlihat indah dengan lampunya yang bergonta-ganti warna. Hal tersebut kemudian tidak saya sia-siakan untuk hunting foto dengan kamera mirorrless yang saya punya.
Terakhir perjalanan malam itu kami tutup dengan menyaksikan pertunjukan air mancur di dua tempat berbeda. Di dekat Art Science Museum dan di Gardens by the Bay.
Saya dan Mas Iksan tiba di hotel sekitar pukul 20.00 waktu Singapura. Kami kembali ke kamar masing-masing karena kebetulan kami tidak ditempatkan di dalam satu kamar yang sama. Saya pun memutuskan mandi untuk kemudian istirahat setelahnya.
Kamar hotel yang saya tempati kebetulan berhadapan langsung dengan suasana malam di Clarke Quay. Karena lokasinya yang dekat, akhirnya saya urungkan niatan saya untung beristiahat dan kambali menjelajah sekitaran hotel.
Dengan menggunakan sandal hotel, dan bercalan pendek, saya pun menyusuri jalan diantara keriuhan Clarke Quay dengan sajian live musiknya. Sampai pada akhirnya saya singgah di salah satu cafe yang menampilkan live music dengan lagu-lagu 90-an. Sekitar pukul 22.30 saya pun memilih untuk kembali ke hotel untuk beristirahat mengingat besok pagi harus siap-siap ke rumah sakit menjenguk Ibu Ani.