Friday, July 12, 2019

Menjenguk Ibu Ani Yudhoyono jadi Pengalaman Pertama Ke Luar Negeri


Pengalaman pertama selalu menyisakan kesan yang mendalam bagi setiap pribadi seseorang, apalagi cerita mengenai pengalaman ke luar negeri. Saya beruntung lantaran pengalaman pertama saya ke luar negeri adalah untuk menjenguk istri Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono) yang dirawat di National University Hospital (NUH) Singapura sejak Februari 2019 lalu akibat sakit kanker darah yang dideritanya.

Cerita ini berawal dari sebuah pesan yang masuk melalui aplikasi pesan singkat di gawai saya pada 29 Mei 2019. Pesan tersebut dikirim oleh salah seorang koordinator liputan di media tempat saya bekerja. Beliau biasa yang memberikan penugasan kepada para reporter di desk nasional dan kabar kota. 

"Bro, punya paspor nggak?," tanyanya ketika itu.

Kebetulan, belum lama ini saya baru saja memperpanjang paspor setelah sekian lama punya paspor namun tidak pernah saya gunakan ke mana-mana. Mengetahui saya memiliki paspor yang baru saja diperpanjang, sang korlip akhirnya meminta saya agar berangkat untuk dinas luar negeri (DLN).

Saya pun diminta untuk meliput kegiatan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD ke Singapura. Ketika itu saya belum mengetahui betul agenda apa yang akan saya liput nantinya. Saya pun diminta oleh korlip untuk menghubungi narahubung yang mengakomodir agenda tersebut.

Singkatnya, narahubung tersebut memberikan saya sebuah undangan untuk menjelaskan agenda apa yang akan saya liput di Singapura nantinya. Sebuah kop surat bertuliskan 'Gerakan Suluh Kebangsaan' tercantum di bagian atas surat. 

Dalam keterangan surat tersebut, diketahui bahwa Mahfud sebagai ketua gerakan tersebut beserta sejumlah tokoh masyarakat akan bersilaturahmi dengan SBY di rumah sakit tempat ibu Ani dirawat. Surat undangan tersebut juga terlihat ditandatangani oleh putri Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid,  Alissa Wahid yang bertindak sebagai wakil sekjen Gerakan Suluh Kebangsaan. 

Dalam benak saya berpikir, sejumlah tokoh yang akan berkunjung ke sana pasti bukan tokoh-tokoh sembarangan. Dua tokoh yang tercantum di dalam surat undangan peliputan itu saja bisa dibilang tokoh yang menurut saya tokoh yang cukup saya segani. 

Ternyata benar saja, sehari sebelum kami terbang ke Singapura, Gerakan Suluh Kebangsaan juga mengunjungi kediaman Presiden RI ke-3 Baharuddin Jusuf Habibie. Sejumlah tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut diantaranya istri presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Shinta Nuriyah, pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng Gus Sholah, mantan menteri BUMN di era Yudhoyono, Dahlan Iskan dan sejumlah tokoh rohaniawan dan cendekiawan seperti Muhammad Quraish Shihab, Romo Benny Susetyo, Franz-Magnis Suseno. 

SINGGAH DI CLARKE QUAY

Setelah saling mengabarkan satu sama lain untuk keperluan tiket pesawat, kami pun berjanjian di bandara pada 2 Mei 2019. Ketika itu kami janjian untuk bertemu di salah satu restoran di dekat pintu 11 Bandara Soekarno-Hatta. Setelah melalui proses pemeriksaan yang cukup merepotkan, akhirnya kami bertemu di tempat yang sebelumnya dijanjikan. 

Saya pun bertemu dengan Mas Iksan, salah seorang jurnalis Kompas yang istrinya juga merupakan seorang jurnalis di Republika. Kebetulan Reporter yang kebetulan bisa berangkat ternyata hanya kami berdua.

Sebetulnya pihak Gerakan Suluh Kebangsaan tadinya juga mengundang wartawan dari media televisi untuk bisa ikut, hanya saja untuk perizinannya kemudian menjadi agak sulit, sehingga yang berangkat hanya kami berdua wartawan media cetak.

Kami take-off pukul 11.30 WIB dengan pesawat Garuda dan tiba pukul 14.30 waktu setempat. Perbedaan antara Indonesia dengan SIngapura hanya satu jam. Setibanya di Changi International Airport, kami disambut oleh imigrasi. Setelah selesai menyelesaikan persoalan administrasi,  kami pun menanti taksi yang akan membawa kami ke penginapan.

Sepanjang perjalanan, dari bandara menuju arah kota, mata ini disuguhkan dengan berbagai macam bentuk gedung dengan nomor di tiap-tiap gedung. Entah apa maksudnya apa dari nomor-nomor itu, mungkin untuk mempermudah seseorang untuk mencari alamat. 

Tidak hanya itu, kesan rapi dan bersih begitu terlihat di sepanjang jalan menuju tempat kami menginap. Jumlah pengendara sepeda motor juga tidak begitu merayap seperti di Jakarta. Bahkan jarang sekali saya melihat sepeda motor berlalu lalang di jalanan Singapura. Salah seorang di rombongan kami mengatakan bahwa pemerintah Singapura memang membatasi jumlah penjualan kendaraan di negaranya. Lalu dengan apa masyarakat Singapura berpergian sehari-hari? Pertanyaan tersebut ternyata terjawab setelah kami tiba di penginapan.
  
Usai menikmati suasana kota dari balik jendela taksi yang kami tumpangi, kami pun tiba di sebuah hotel di daerah Clarke Quay Street. Tempat kami menginap ternyata tidak jauh dari pusat kuliner di Clarke Quay. Tempat tersebut ternyata ramai saat malam menjelang tengah malam hari.

Saya dan Mas Iksan (wartawan Kompas) berjanjian untuk berkeiling terlebih dahulu di sekitaran hotel. Usai menyimpan barang dan beres-beres kami pun akhirnya turun dan janjian di lobi hotel.

Sebuah bangunan dengan desain ala rumah seperti di film-film cowboy terlihat berjajar rapi di depan hotel tempat kami menginap. Mas Iksan pun berfoto dengan latar belakang rumah itu. Sedangkan saya berfoto dengan latar papan jalan bertuliskan Clarke Quay. 

Tidak jauh dari tempat kami  berfoto, terlihat sebuah sungai yang cukup lebar. Kapal-kapal wisata terlihat berjajar menunggu wisatawan yang ingin menyewa kapal tersebut untuk menyusuri sungai. 

"25 dollar Singapura sekali jalan," kata Mas Iksan ketika itu.

Bagi Mas Iksan, kunjungannya ke SIngapura bukanlah yang pertama kali. Baginya, ini adalah kali kedua ke Singapura. Bahkan dirinya juga berencana kembali ke Singapura dalam waktu dekat bersama keluarganya.

Setelah puas berfoto dan melihat-lihat suasana Clarke Quay di waktu sore, kami kembali lobi hotel untuk bertemu dengan rombongan lainnya. Kami berencana berkeliling kota di Singapura dengan menggunakan MRT. 

MRT di Jakarta saja belum pernah, kali ini untuk pertama kalinya saya justru naik MRT di Singapura. Dari hotel kami pun memutuskan untuk menuju stasiun MRT terdekat, yaitu Fort Canning Park.

Setibanya di Stasiun Fort Canning Park, kami memperhatikan terlebih dahulu sebuah peta besar yang terpampang di stasiun sebelum kami memutuskan kemana kami akan turun untuk transit. Kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Orchard Road.

Kami akhirnya membeli lima tiket standard di sebuah mesin tiket. Karena dirasa tidak cukup efektif karena kami akan keluar masuk di banyak stasiun, kami pun akhirnya diberi tahu oleh salah seorang petugas untuk membeli tiket tourist pass di Stasiun Chinatown. 
Kami bergerak ke Chinatown untuk membeli tiket tersebut. 

Masing-masing dari kami menerima satu tiket tourist pass. Bentuk fisiknya serupa seperti kartu, berbeda dengan tiket standard yang seperti berbahan kardus yang mungkin saja mudah rusak. 
Di akhir perjalanan, kartu yang kami terima tersebut bisa diuangkan kembali.

Dari Chinatown, kami menuju ke Orchard. Orchard mengingatkan saya dengan pedestrian di sepanjang jalan Thamrin-Sudiman saat ini, hanya saja di sepanjang Orchard dipenuhi banyak sekali pusat perbelanjaan. Kami tak sempat mencicipi es yang katanya terkenal di jalan tersebut, padahal beberapa pedagang terlihat menjajakan dagangannya di sepanjang jalan itu. 

Kami melanjutkan langkah kami untuk menuju Marina Bay. Sepanjang perjalanan dari Orchard menuju Marina Bay, saya diajarkan tentang bagaimana kebiasaan di sana saat menggunakan eskalator. Sebelumnya situasi tersebut sebenarnya juga saya temui di Indonesia, tetapi belakangan saya menyadari kebiasaan tersebut hanya dibiasakan di tempat tertentu dan oleh orang-orang tertentu saja. 

Sebagai contoh, saya pernah ditegur oleh seseorang di Stasiun Palmerah lantaran berdiri di sisi kanan eskalator. "Kanan buat yang jalan mas," kata orang tersebut menegur saya ketika itu. Saya belum mengerti ketika itu lantaran kesalahan saya karena tidak melihat ada peringatan sebelum menaiki eskalator.  
Sedangkan sepanjang saya berkeliling SIngpura, baik itu di pusat perbelanjaan atau di stasiun, semua yang diam di eskalator berada di sisi sebelah kiri, sedangkan orang yang buru-buru atau sembari berjalan mereka berada di sebelah kanan. Hal itu pun berimbas pada saya ketika kembali ke Indoesia.

Kami tiba di sekitaran Marina Bay Sands sore hari menjelang petang. Matahari terlihat sudah mengintip di antara tingginya pencakar langit. Aktifitas di sekitaran Marina Bay dipenuhi dengan orang-orang yang tengah berjogging dan bersepeda. Begitu kontras dengan kedai-kedai yang berada di luar Mall yang menjajakan beer dan vodka. 

Sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke hotel, kami kompak memutuskan untuk mencari makan. Tidak mudah bagi kami ketika itu mencari makan, pasalnya posisi kami dari food court lumayan cukup jauh. Akhirnya sebagian besar dari rombongan memilih salah satu stand di food court tersebut yang yang dirasa menjual makanan halal. 

Saya memutuskan untuk mencari tempat terlebih dahulu mengingat kondisi food court saat itu sangatlah ramai. Usai mendapatkan tempat dan rombongan juga telah memesan makan, kini giliran saya yang memesan makan. Saya memesan nasi kuning dengan udang dan ikan, serta air mineral. 

"25 dollar," kata si pramusaji tersebut.

Mendengar harganya saya cukup kaget karena menurut saya harga tersebut cukup mahal untuk sebuah nasi kuning.  Itu artinya saya menghabiskan 250 Ribu Rupiah untuk makan malam saja dengan kocek pribadi. Tetapi saya cukup memahami lantaran food court di tempat kami makan berada di mall di pusat kota Singapura. Nasi kuning itu kemudian menjadi nasi kuning termahal yang pernah saya beli.

Seusai menyantap hidangan tersebut, kami pun kembali berkeliling menikmati suasana malam di sekitar Marina Bay. 
Saya dan Mas Iksan beranjak ke Helix Bridge. Sedangkan rombonga yang lain memilih kembali ke hotel duluan.  

Helix Bridge terlihat indah dengan lampunya yang bergonta-ganti warna. Hal tersebut kemudian tidak saya sia-siakan untuk hunting foto dengan kamera mirorrless yang saya punya.
Terakhir perjalanan malam itu kami tutup dengan menyaksikan pertunjukan air mancur di dua tempat berbeda. Di dekat Art Science Museum dan di Gardens by the Bay. 

Saya dan Mas Iksan tiba di hotel sekitar pukul 20.00 waktu Singapura. Kami kembali ke kamar masing-masing karena kebetulan kami tidak ditempatkan di dalam satu kamar yang sama. Saya pun memutuskan mandi untuk kemudian istirahat setelahnya.

Kamar hotel yang saya tempati kebetulan berhadapan langsung dengan suasana malam di Clarke Quay. Karena lokasinya yang dekat, akhirnya saya urungkan niatan saya untung beristiahat dan kambali menjelajah sekitaran hotel.
Dengan menggunakan sandal hotel, dan bercalan pendek, saya pun menyusuri jalan diantara keriuhan Clarke Quay dengan sajian live musiknya. Sampai pada akhirnya saya singgah di salah satu cafe yang menampilkan live music dengan lagu-lagu 90-an. Sekitar pukul 22.30 saya pun memilih untuk kembali ke hotel untuk beristirahat mengingat besok pagi harus siap-siap ke rumah sakit menjenguk Ibu Ani.














Friday, June 7, 2019

Cerita Kerja di Hari Lebaran 2019


MembacaTulisanFebri -- Hari Raya Idul Fitri menjadi momentum bagi sebagian besar masyarakat untuk bersilaturahmi ke sanak saudara. Namun hal itu tidak berlaku bagi kami para jurnalis yang masuk di hari pertama Idul Fitri 1440 H.

Setumpuk tugas telah menanti kami sejak malam takbiran. Saya sebagai jurnalis yang bertugas di bidang politik tentu tidak bisa dilepaskan dari penugasan yang berkaitan dengan isu politik, bahkan di hari lebaran sekalipun.

Agenda shalat ied di Kantor DPP Partai Golkar telah menunggu sejak semalam. Hal itu memaksa saya untuk bangun pagi, kira-kira pukul 04.00 WIB. Sayup-sayup suara takbir juga masih terdengar dari masjid kampung seberang.

Saya merasa beruntung mendapat tugas ke markas Golkar, setidaknya setelah dari agenda tersebut, saya bisa bergeser ke agenda lain di sekitaran Jakarta. Sebagian rekan jurnalis dari media lainnya bahkan ada yang telah mendapat tugas untuk berjaga di kediaman Ketua Umum Partai Gerindra di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. 

Tepat pukul 05.30 WIB saya pun tancap gas menuju Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat. Spotify jadi kawan setia selama perjalanan saya. Kali ini giliran nyanyian Ebiet G Ade yang menemani hingga tiba di kantor partai berlambang beringin itu.

Sesampainya di lokasi, saya pun disambut oleh salah seorang tim media yang menginformasikan agenda tersebut.
"Pak Ketum belum datang," kata Pria berkacamata itu.

Tetapi tidak lama setelah itu, sebuah motor patwal terlihat memasuki kompleks Kantor DPP Partai Golkar. Sekitar empat hingga lima mobil ada di belakangnya mengikuti, salah satunya mobil Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. 

Airlangga terlihat menggunakan peci dan baju koko lengkap dengan sarung  dengan warna dominan kuning. Tampilannya berbeda dengan biasanya, bisa dibilang ini kali pertama saya melihat beliau memakai songkok.

Sejumlah pejabat Golkar lainnya turut hadir, seperti Agung Laksono, Abu Rizal Bakrie, dan Akbar Tandjung. Sembahyang pun berlangsung khidmat, dilanjut dengan khotbah yang disampaikan oleh Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily.

Sebelum matahari terik, aku dan beberapa rekan wartawan lainnya memutuskan untuk bergeser ke agenda lain. Ada info beredar Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berziarah ke makam istrinya, Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono) yang baru saja meninggal empat hari sebelum hari raya Idul Fitri. 

Bermodalkan informasi itu kami pun bergegas menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Tepat pukul 10.15 WIB, saya sudah berada TMP. Belum terlihat ada rombongan keluarga SBY yang hadir. 

Dari kejauhan, terlihat kerumunan orang dan tripot kamera yang menancap di antara jejeran makam. Ku putuskan untuk mempercepat langkah kaki ini sembari mengontak kawan yang telah berada di lokasi lebih dulu.

"Lagi ngobrol sama sekjen," kata kawan.

Seorang pria lanjut usia mengenakan kacamata hitam, bersongkok putih terlihat menyiram air mawar ke nisan beruliskan Hasri Ainun Habibie. Ya pria  
itu adalah Presiden RI ke-3 Baharuddin Jusuf Habibie. 

Saya merasa beruntung lantaran masih sempat untuk bertemu beliau berziarah ke makam istrinya. Beberapa gambarku abadikan untuk laporan ke kantor. Singkatnya, aku pun menulis soal kehadiran Habibie ke akam istrinya di hari pertama lebaran tahun ini.

Keberadaan makam mendiang Ainun memang berdekatan dengan makam Ibu Ani. Hal itu tidak sedikit membuat beberapa peziarah yang hadir tidak melewatkan berfoto di nisan kedua ibu negara itu.

SBY dan kedua anaknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) serta istri anak-anaknya akhirnya tiba. Kehadiran keluarga SBY tersebut menarik perhatian awak media dan para peziarah lain yang juga hadir. 

SBY, dan seluruh keluarga intinya tampak seragam mengenakan batik dengan dominasi warna hitam. Sesaat dirinya baru tiba dan duduk di sisi makam Ani, SBY menceritakan bahwa batik yang ia dan keluarganya kenakan adalah pilihan istrinya.

"Biasanya batik yang dipilih itu warnanya terang, bapak ibu. Tetapi saya juga tidak mengerti barangkali tidak kuasa menangkap isyarat yang ada di balik pilihan batik yang kami gunakan sekarang ini," kata SBY mengenang. 

SBY juga menjelaskan bahwa Ani memilih batik bermotif Sawunggaling. Ia juga baru memahami bahwa motif tersebut memiliki makna sebuah burung yang terbang ke surga. 

Pada kesempatan itu, sebelum dirinya menabur bunga, dirinya juga mengungkapkan pesan bu Ani terkait batik pilihannya. Kepada keluarganya ia ingin mengenakan kain itu saat lebaran.

"Memo (Panggilan SBY ke Ani) kan masih dirawat kan tidak perlu menggunakan batik biar kami saja menggunakan nanti foto bersama," kata SBY menirukan ucapannya ketika itu.

Tidak sampai hari lebaran, bu Ani justru telah berpulang. Jenazah Ani kemudian diselimuti oleh kain batik yang merupakan pilihannya itu.

"Jadi ternyata yang dimaksudkan 'saya juga akan  pakai nanti' itu ternyata dipakaikan di ruang itu usai wafat," ungkapnya. 

Seusai menyampaikan itu secara bergantian SBY beserta keluarganya menabur bunga dan menyiramkan air mawar ke pusara Ani. Sebelumnya juga sempat melakukan doa bersama.

"Yang lain kalau ingin tabur bunga silakan. Bunganya jangan semuanya di sini, sudah cukup. Sebagian silakan ditaburkan ada pusara ibu Ainun Habibie dan lain-lain," katanya mempersilakan peziarah lainnya.

Jam menunjukan pukul 11.30 WIB. Rasa lapar mulai terasa setelah dari pagi kami beraktifitas. Kami akhirnya memilih salah satu lapak yang menjual makanan di seberang TMP untuk mengganjal rasa lapar sembari mengetik satu hingga dua berita. 

Salah seorang wartawati mengajak saya untuk bersilaturahmi ke rumah salah satu jenderal yang saat ini menjabat sebagai kepala staff presiden (KSP). Jenderal itu adalah Moeldoko.

Deretan makanan prasmanan telah menanti kami di garasi bagian depan rumah. Antrean tamu yang hendak bersalaman dengan Moeldoko terlihat mengular hingga pelataran rumahnya.

Kami pun memilih untuk mencicipi makanan yang tersedia terlebih dahulu. Makanan yang tersedia diantaranya salmon ribs dan BBQ ribs dengan mashed potatoes, gulai, mie kangkung, kopi, teh, dan infus water. 

Lama kami menunggu akhirnya kami berkesempatan bersilaturahmi dengan mantan panglima TNI itu. Usai bersalaman kami pun diarahkan untuk menunggu beliau di ruangan dalam kediamannya. 

Setelah beberapa menit kami menunggu akhirnya beberapa rekan wartawan mencoba untuk menemui Moeldoko untuk mengajak ngobrol kembali. Saya pun memutuskan untuk keluar lewat pintu belakang karena tak kunjung ada kepastian.

Setelah mewawancarai Moeldoko, rekan wartawan akhirnya kembali duduk ke bangku dan meja bundar yang tersedia di halaman rumahnya. Saya pun ikut duduk diantara mereka. Di situ saya duduk satu meja dengan dua mantan wartawan media ternama nasional yang saat ini bekerja di KSP. Beliau menceritakan banyak hal terkait pekerjaan di KSP. 

Moeldoko akhirnya keluar dan ikut duduk satu meja dengan kami. Wajahnya terlihat tampak lebih segar dari sebelumnya.

"Habis mandi barusan," katanya.

Ia pun mengambil sebuah benda kecil sekilas berbentuk seperti flashdisk. Benda itu diketahui ternyata sebuah rokok elektrik. Ia berniat agar rokok tersebut nantinya bisa diproduksi di Indonesia. 

"Saya beli di Amerika," katanya.

Untuk satu alatnya, rokok elektrik itu bisa digunakan untuk 300 kali hisapan. Rasanya juga beragam, sama seperti vape, hanya saja bentuknya lebih kecil.

Tidak lama setelah itu, Moeldoko tampak mengambil korek dan cerutu coklat. Ia pun membakar ujung cerutu itu dan menghisapnya di sisi yang lain. Beliau tampak menikmati betul hisapan setiap hisapan sembari mendengar lawan bicara menyelesaikan perkataanya. Kepulan asap cerutunya tidak sama seperti rokok elektrik yang sebelumnya ia gunakan. 

Hari perlahan mulai gelap, kami pun berpamitan dengan sang jenderal. 
Kami pun pulang dengan membawa banyak kesan dan pengalaman bisa berbincang dengan mantan orang nomor satu di TNI itu. Kami pun kembali ke tempat masing-masing, sebagian ada yang kembali liputan open house ke tempat lain. 

Lebaran kali ini terasa lebih berkesan jika dibandingkan lebaran tahun lalu yang hanya duduk di depan kediaman boss transcorp Chairul Tanjung  menunggu kegiatan halal  bihalal selesai. Meskipun saya dan beberapa  teman pewarta lain tetap bekerja di hari lebaran, setidaknya kesan, pengalaman di tempat liputan hari ini bisa jadi cerita yang suatu saat bisa saya baca atau ceritakan kembali. (feb)

Wednesday, August 30, 2017

Segala Puji Bagi Butet dan Owi

Bagai oasis di tengah gurun tandus, keberhasilan pasangan ganda campuran Indonesia Tontowi Ahmad (Owi) dan Liliyana Natsir (Butet) atas raihan gelar juara di Kejuaran Dunia Badminton 2017 di Glasgow, Skotlandia menjadi angin segar di tengah terpuruknya prestasi atlet Indonesia di ajang dua tahunan, Sea Games 2017 yang digelar 19 - 30 Agustus di Kuala Lumpur, Malaysia.

Gelar juara dunia yang diraih kedua kalinya oleh pasangan ganda campuran Owi/Butet seakan menjadi pelipur lara kandasnya harapan masyarakat Indonesia menyaksikan Indonesia menjadi juara umum di pesta olahraga yang telah digelar sebanyak 29 kali tersebut. Maka bukanlah sesuatu yang berlebihan jika penyambutan sang juara dilakukan untuk memacu semangat para atlet bulutangkis muda yang belum meraih emas di Sea Games 2017 kali ini.

Suasana penyambutan di pintu kedatangan internasional Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa (29/8) sore tampak lebih ramai dari hari biasanya. Spanduk bertuliskan "Selamat Datang Sang Juara Dunia 2017 Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir" membentang jelas sejajar dengan restoran bandara. Dua wanita berbaju putih dengan menengadahkan baki berisi bunga yang siap untuk dikalungkan mulai bersiaga untuk menyambut kedatangan sang juara. 

Masyarakat yang secara kebetulan melihat langsung penyambutan tersebut tampak ingin merangsek maju untuk melihat lebih dekat. Ada juga diantara mereka yang menyiapkan gawai untuk berfoto dengan pebulutangkis yang telah mengharumkan nama Indonesia di mata internasional. 

Para pengurus PBSI yang ikut menyambut juga menantikan pahlawan mereka muncul dari balik pintu kedatangan internasional, serta para pewarta yang bersiap-siap menghujani Owi/Butet dengan sorotan, cahaya kamera dan pertanyaan-pertanyaan. 

Tidak lama kemudian, yang dinanti akhirnya muncul. Owi/Butet beserta Ahsan/Ryan dan pelatih ganda campuran, Richard Mainaky beserta staff langsung disambut oleh para petinggi Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI), diantaranya Ketua Umum Wiranto, Sekretaris Jenderal Ahmad Budiharto, Kepala Bidang Sub Humas dan Media Sosial PBSI, Ricky Soebagdja, dan Alan Budikusuma. 

Ketua Umum PP PBSI, Wiranto dengan senyum lebar langsung menyalami para pemain yang baru tiba dari Glasgow, Skotlandia dan mengalungkan bunga kepada Owi/Butet yang telah mengumandangkan Indonesia Raya di Skotlandia.

"Bagi Owi dan Butet meraih emas bukanlah prestasi yang mudah, termasuk ke Ryan dan Ahsan, ini juga merupakan satu prestasi yang sangat membanggakan, kita bangga kepada kalian semuanya," puji Wiranto dalam sambutannya di hadapan media, Selasa (29/8).

Pria yang juga menjabat sebagai Menteri Koodinator Politik, Hukum, dan HAM tersebut juga mengapresiasi keberhasilan tim bulutangkis beregu putra dan tunggal putra yang telah meraih emas di ajang Sea Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia. "Ini merupakan satu prestasi yang sangat luar biasa, karena pemain sangat ketat disana," imbuh Wiranto.

Tidak ketinggalan, Sekretaris Jenderal PBSI, Ahmad Budiharto mengatakan bahwa skuat yang dikirimkan ke kejuaraan dunia tahun ini merupakan tim terkecil pada turnamen bergengsi tersebut. "Tapi tim terkecil dengan tekad yang besar alhamdulilah dengan segala keterbatasannya kita bisa meraih gelar juara dunia," kata Ahmad disambut tepuk tangan para pengurus PBSI. Ia berharap kedepan bulutangkis Indonesia semakin berjaya lagi.

Usai mendengar sambutan dari para pejabat teras PBSI, akhirnya untuk pertama kalinya usai menyabet gelar juara dunia di Glasgow, sang juara akhirnya angkat suara. Butet pun mengawali dengan ungkapan puji syukur dan terima kasih karena bisa kembali ke Jakarta dengan selamat. 

"Dengan menegakkan kepala, bangga hari ini kita bisa menjadi juara dunia untuk saya yang keempat kali dan Owi yang kedua kali," ujar wanita kelahiran Manado, 9 September 1985 tersebut.

Dibanjiri gelar juara dan pujian, tidak membuat Butet berpuas diri, ia bahkan masih haus akan gelar pada kejuaran-kejuaran lainnya, salah satunya meraih emas di Asian Games 2018.

"Kedepan masih ada pertandigan-pertandingan yang kita ikuti dan pastinya di tahun depan ada Asian Games, kita juga tuan rumah, mudah-mudahan saya dan Owi tetap bisa memberikan yang terbaik," kata Liliyana penuh harap.

Begitu pula dengan Owi, ia berharap prestasi-prestasi yang diraih Owi/Butet saat ini bisa menular ke para junior dan diharapkan tahun berikutnya akan muncul juara-juara baru. Ucapan "amin" pun sontak terdengar seisi ruangan.

Pada saat di final melawan pasangan Tiongkok, Zheng Siwei/Chen Qingchen Senin (28/8) lalu, pria kelahiran Banyumas, 18 Juli 1987 tersebut mengaku ingin menikmati pertandingan final yang ia jalani, dan tidak ingin terlalu menggebu-gebu. Begitu juga dengan Butet yang tampil fokus pada pertandingan final kemarin. meskipun sempat terganggu oleh cedera yang dialaminya. 

"Karena sudah ke lapangan saya mikirnya bagaimana saya mengeluarkan strategi, sudah enggak berpikir itu (cedera) lagi walaupun ada bola jauh saya ambil kadang terasa, tapi saya fokus lagi ke pertandingan, karena kan kalau fokus kesini (cedera) pecah lagi," kisah Butet.

Meskipun memiliki visi yang sama, yaitu meraih gelar juara, Owi/Butet justru memiliki motivasi yang berbeda untuk mencapai visi tersebut. Pada kejuaraan dunia kemarin, Butet sangat termotivasi ingin memberikan kado terindah di hari kemerdekaan Indonesia. "Tahun ini walaupun tidak tepat di tanggal 17 tetapi masih di bulan agustus, kita bisa kasih kado juga. Itu jadi satu momen yang mungkin susah akan terulang lagi, jadi saya gak mau menyia-nyiakan kesempatan ini," ujar Butet. Sebelumnya di bulan yang sama di tahun 2016, Owi/Butet berhasil meraih emas pada Olimpiade 2016 di Rio, Brazil.. 

Sedangkan keluarga menjadi alasan tersendiri bagi Owi agar bisa meraih juara di setiap turnamen yang ia hadapi. "Saya paling motivasinya keluarga lah, ingin membanggakan anak, keluarga, indonesia pastinya. kalau saya bertekad seperti itu," ucap Owi.

Tidak lupa juga, dalam kesempatan kemarin Owi berpesan juga kepada para junior untuk mengeraskan tekad juara dan gigih dalam berlatih. Owi juga berpesan kepada para juniornya untuk tidak pantang menyerah apapun kondisinya. 

Target Owi/Butet selanjutnya adalah mempersembahkan emas untuk Indonesia di Asian Games 2018. Owi/Butet berupaya untuk menjaga penampilan mereka agar bisa mempertahankan ranking. Mereka berharap perjalanan menuju Asian Games penampilan mereka tetap stabil. Namun ketika ditanya untuk persiapan turnamen selanjutnya, Owi dan Butet mengaku ingin rileks dan menikmati kemenangan terlebih dahulu. "Paling tiga - empat hari lagi sudah latihan lagi," kata Owi. (Febrianto Adi Saputro) 

Sunday, May 14, 2017

Tragedi 98 Harus Dijadikan Pelajaran Bagi Bangsa Indonesia

Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu, mengatakan bahwa Tragedi Mei 98 seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Hal itu disampaikan Azriana pada peringatan Tragedi Mei 98, Senin (8/5) lalu di Tempat Pemakaman Umum (TPU), Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

“Apa yang terjadi dalam kerusuhan Mei 98 memperlihatkan, ketika sentimen etnis dimainkan dan perpecahan terjadi karenanya, maka yang akan menjadi korban bukan saja warga masyarakat dari etnis yang disasar, tetapi juga warga masyarakat lainnya,” katanya pada sambutan pembuka peringatan Tragedi Mei 98 yang dihadiri oleh Presiden RI ke-3, BJ Habibie dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat.

Menurut Azriana peringatan Tragedi Mei 98 masih relevan jika melihat kondisi saat ini, khususnya ketika Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sekelompok orang menyalahgunakan ingatan tentang Tragedi Mei 98 untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan mengancam Etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Kota Tanjung Balai beberapa waktu lalu.

“Bagi warga Etnis Tionghoa, Tragedi Mei 98 hingga saat ini masih menyisakan trauma yang mendalam,” ujar Azriana di depan keluarga korban kerusuhan Mei 98.

Oleh karena itu peringatan Tragedi Mei 98 menjadi penting bukan hanya sebagai ritual tahunan, tetapi juga menjadi ruang pemulihan korban dan memperkuat rekonsiliasi yang menjadi korban dari tragedi tersebut. Tentunya juga menjadi pembelajaran agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Hari ini, tepat 19 tahun lalu, bangsa Indonesia telah mencatat sejarah kelam. Suasana di Jakarta berubah menjadi mencekam,  kerusuhan disertai pembakaran dan penjarahan terjadi dimana-mana. Tempat perbelanjaan dan perkantoran tidak luput dari amukan massa.

Dilansir dari pusat data Republika (15/5/98), setidaknya 484 gedung 393 kendaraan hancur, serta ratusan penjarah diamankan. Rinciannya, gedung yang dirusak massa terbanyak terdapat di Jakarta Barat yaitu sebanyak 255 buah, 74 bangunan di Jakarta Pusat, 141 gedung di Jakarta Utara, dan empat gedung di Jakarta Selatan. Selain itu 213 kendaraan roda empat, dan 180 kendaraan roda dua habis terbakar.

Empat mahasiswa Trisakti gugur dalam kerusuhan tersebut pada 12 mei 1998, antara lain Hari Hariyanto (Mahasiswa Teknik Industri), Elang Mulya (Mahasiswa Teknik Arsitektur), Hafidin Royan, Hendriawan (Mahasiswa Ekonomi). Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 98 juga mencatat 85 perempuan Etnis Tionghoa mengalami kekerasan seksual.

Komnas Perempuan berharap pengusutan sejumlah kasus pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran yang terjadi pada 12, 13, 14, 15 Mei 1998 menemukan titik terang dalam penyelesaiannya. 


Minggu 14 Mei 2017

Thursday, May 4, 2017

Rumah Tuan Tanah Cimanggis, Riwayatmu Kini


Rumah Cimanggis
Depok menyimpan banyak teka-teki yang masih belum terjawab terkait asal-usul daerahnya. Sebagai kota yang sudah 18 tahun berdiri, belum ada kesepakatan untuk menetapkan tentang bagaimana perjalanan Depok dari pertama kali ditemukan hingga kemudian berkembang menjadi sebuah kota hingga saat ini.

Informasi dan literatur yang menjelaskan secara runut sejarah kota yang terkenal dengan buah Belimbing tersebut, sampai saat ini belum terinventarisasi secara lengkap. Termasuk informasi mengenai sejarah rumah-rumah bergaya Belanda di Depok. Salah satu bangunan rumah bergaya Belanda yang tersisa yang menyimpan kisah dan menjadi saksi dalam perjalanan Kota Depok adalah rumah tuan tanah Cimanggis.

Rumah tuan tanah Cimanggis atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan Landhuis Tjimanggis, berlokasi di Jalan Raya Bogor KM. 34 Komplek Radio Republik Indonesia (RRI) RT 001/01, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Ketua Depok Heritage Community (DHC), Ratu Farah Diba, ketika ditemui oleh penulis di rumahnya, mengatakan bahwa rumah tersebut adalah rumah Adriana Johanna Bake, istri kedua Gubernur Jenderal Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC) (1761 – 1775) yang terkenal sangat kaya, Albertus van de Parra.

“Rumah Cimanggis ini adalah rumah Johana, yaitu istri kedua Albertus van de Parra, Jadi sama istrinya ini, rumah Cimanggis bukan dijadikan rumah utama, tetapi rumah peristirahatan,” katanya membuka perbincangan di halaman rumahnya di dekat kolam yang penuh dengan ikan.
Rumah Cimanggis 2011
Rumah Cimanggis 1930















Depok tempo dulu (bahkan hingga saat ini) adalah sebuah daerah yang lokasinya amat strategis. Letaknya yang berada diantara Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta), menjadikan Depok sebagai kawasan yang tepat untuk beristirahat setelah perjalanan jauh dari Buitenzorg menuju Batavia atau sebaliknya.

Hal itu tampaknya disadari betul oleh Albertus van de Parra. Dengan kekayaan yang ia punya, Parra membeli lahan tersebut dari pemilik lahan sebelumnya, yaitu Cornelis Chastelein (1657-1714), seorang mantan Gubernur VOC yang menjadi orang pertama yang membuka lahan hutan di Depok dan mempekerjakan budak-budak yang nantinya ia merdekakan setelah ia wafat, dan diberi otonomi untuk membentuk pemerintahan sendiri.

Albertus van de Parra kemudian memanfaatkan lahan tersebut sebagai pusat usaha pembukaan lahan hutan antara Jakarta dan Bogor pada abad ke-18. Ia mempekerjakan budak-budak untuk menggarap semua lahan perkebunan yang ia punya. Parra tidak hanya dikenal sebagai seorang tuan tanah yang memiliki kebun karet yang sangat luas, ia juga dikenal karena perilakunya yang korup.

Pada 28 Desember 1775 Albertus van de Parra kemudian wafat. Pasca wafatnya Parra, Johanna pun menjanda. Dalam buku yang ditulis Adolf Hueken berjudul Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1997) mengatakan bahwa rumah Cimanggis baru dibangun oleh David J. Smith pada tahun 1775 – 1778 sebagai rumah kedua Johanna. Artinya tepat di tahun Parra wafat, rumah tersebut baru dibangun.

Johanna juga dikenal sebagai pemilik Pasar Cimanggis (yang saat ini dikenal dengan Pasar Pal) yang saat itu dijadikan pos penting untuk beristirahat dan bertukar kuda bagi yang melakukan perjalanan antara Batavia dan Buitenzorg.

1930

Setelah Johanna meninggal, rumah tersebut diwariskan kepada Smith. Namun karena terlilit hutang yang tak kunjung dibayar, akhirnya rumah tersebut disita. Semenjak abad ke-19, rumah tersebut berganti-ganti pemilik. Di tahun 1997, rumah tersebut pernah ditempati oleh pegawai RRI, namun hingga kini rumah dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Rumah Cimanggis perlahan-lahan mengalami kerusakan fisik pada bangunannya akibat dimakan usia dan pengaruh cuaca. Dalam bukunya, Hueken juga mencatat rumah Cimanggis juga pernah mengalami kerusakan parah di tahun 1843 akibat gempa bumi hebat yang juga merusak bangunan Istana Bogor pada waktu itu.

Saat ini kondisi rumah tersebut sudah sangat memperihatinkan. Farah bercerita bahwa terakhir kali ia mengunjungi rumah tersebut yaitu pada tahun 2016 lalu. Ia mengatakan bahwa rumah tersebut saat ini terlihat banyak kerusakan dimana-mana.

“Saat ini kerusakan rumah tersebut sudah mulai merambat, ornamennya sudah banyak yang hilang, seperti pintu, jendela. Pilar kembar yang ada di rumah tersebut tampak sudah ambruk satu, yang kanan saat ini sudah gak ada, adanya tinggal yang kiri,” tuturnya..

Saat ini rumah tuan tanah Cimanggis sudah berusia lebih dari 200 tahun, melihat penelantaran rumah tersebut tampaknya belum ada keseriusan dari Pemerintah Kota Depok untuk melindungi rumah tuan tanah yang memiliki nilai sejarah tersebut. Padahal menurut Perda DKI No. 9 Tahun 1999, sebuah bangunan yang setidaknya berusia 50 tahun bisa dikategorikan sebagai cagar budaya. Selain itu payung hukum lainnya terlihat dalam undang-undang 11 No. 2010 tentang cagar budaya, yang menjelaskan tentang melindungi rumah yang memiliki nilai sejarah.

Permintaan untuk segera dijadikan sebagai bangunan cagar budaya tampaknya menemui jalan buntu. Farah menjelaskan bahwa DHC sebenarnya sudah mengupayakan berbagai cara agar rumah Cimanggis dapat segera dijadikan bangunan bersejarah, namun pemerintah kota memiliki pemahaman yang berbeda dengan apa yang dimaksud di dalam undang-undang cagar budaya tersebut.

Pilar-pilar Serambi Depan
“Jadi di otak pemerintah ini bahwa kalau kita ingin menetapkan itu bangunan bersejarah sebagai cagar budaya, harus menjadi aset pemerintah dulu. Jadi mau gak mau mereka harus beli,” tutur wanita yang gemar bersepeda onthel tersebut.

Farah menambahkan, Padahal jika dilihat pada pasal 12 undang-undang cagar budaya, kepemilikan itu tidak hanya pemerintah, bisa siapa aja, bahkan bisa perorangan dan bisa yayasan. Tugas pemerintah hanyalah menetapkan cagar budaya atas usulan dari tim ahli cagar budaya.

Dulu sebelum undang-undang cagar budaya tahun 1992 belum diubah, pengajuan cagar budaya ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) bangunan cagar budaya yang menetapkan adalah pihak BPCB, namun kini harus melalui tim ahli cagar budaya yang dibentuk oleh pemerintah kota. Sedangkan kendalanya bagi Depok sendiri, Depok belum memiliki tim ahli cagar budaya.

“Nah ini yang kita juga belum punya, tim ahli cagar budaya tingkat kota dan provinsi. Makanya kalau tim ahli ada, pemerintah perannya adalah menetapkan atas usulan dari tim ahli tersebut,” jelas Farah.
Oleh karena itu Farah berharap agar upaya-upaya penyelamatan heritage harus lebih sering diekspos agar pemerintah mau segera menyelamatkan peninggalan bersejarah, yaitu dengan cara membuat karya tulis mengenai sejarah Depok.

“Saya suka mengusulkan kepada sekolah-sekolah, semakin banyak mereka buat karya tulis, itu kan makin diangkat, kalau enggak kan akan mati gitu aja seperti  yang sudah-sudah,” ujarnya.

Saat ini belum banyak karya tulis yang menggali tentang sejarah mengenai rumah Cimanggis tersebut. Berdasarkan penelusuran penulis, hanya ada beberapa orang yang meneliti mengenai rumah Cimanggis tersebut, yaitu Adolf Hueken (1997) dan Ellyza Tri Kurnia (2015), seorang sarjana Arsitektur Universitas Indonesia yang secara khusus meneliti tantang bentuk rumah Cimanggis melalui perspektif ilmu arsitektur.

Dalam tugas akhirnya tersebut, Ellyza juga berharap agar rumah Cimanggis segera dijadikan cagar budaya dan nantinya dapat difungsikan menjadi museum di kemudian hari. Namun meskipun begitu, Farah mengakui Depok masih jauh untuk bisa memiliki museum sejarah kotanya, melihat persyaratan-persyaratan pembuatan museum yang tidak mudah dan artefak-arefak yang hilang akibat peristiwa masa lalu, membuat Farah pesimis Depok memiliki museum yang menceritakan sejarah Kota Depok dalam waktu dekat.

“Kalaupun Depok ada museum, apa yang ingin kita pamerkan? Foto? Itupun scan dari arsip nasional. Jadi masih jauh kita kesana. Menetapkan sejarah Depok saja belum,  apalagi membangun museum? kayaknya masih jauh langkahnya,” ungkap Farah.

Meskipun begitu, Farah berharap pemerintah harus lebih memperdalam pemahaman lagi mengenai undang-undang cagar budaya. Tidak harus dimiliki pemerintah, karena dengan adanya peraturan daerah itu sudah menjadi payung hukum.

Selain itu menurut Ellyza, jika dilihat dari nilai sejarahnya, rumah tuan tanah Cimanggis layak dilestarikan karena menjadi saksi bisu sejarah pembukaan hutan antara Jakarta dan Bogor, tempat tinggal dari salah satu anggota keluarga Gubernur Jenderal VOC yang juga merupakan pemilik pasar Cimanggis, berkisah tentang buruh tani, dan budak belian yang membuka hutan dan rawa-rawa di sekitar Batavia. (Febrianto Adi Saputro)




Sumber Foto: Laporan Rumah Cimanggis Ellyza Tri Kurnia

Wednesday, May 3, 2017

Belajar dari Kesederhanaan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara & Istri Berfoto Bersama Ir. Soekarno dan  Prof. Sardjito usai pemberian gelar Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) 19 Desember 1956 


Ing Ngarsa Sung Tulada

Ing Madya Mangun Karsa

Tutwuri Handayani

Adalah sebuah trilogi yang dicetuskan oleh salah satu organisasi yang menjadi pelopor pendidikan di Indonesia. Salah satu tokoh penting yang muncul dibalik trilogi tersebut adalah Ki Hadjar Dewantara, atau yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.

“Ki Hadjar Dewantara” bukanlah sebuah nama yang telah ada sejak lahir. Nama ”Ki Hadjar Dewantara” sendiri baru muncul ketika usianya memasuki 40 tahun. Sewaktu kecil hingga masa mudanya, ia lebih dikenal dengan nama RM Soewardi Suryaningrat.

Soewardi Suryaningrat lahir di Pakualaman 2 Mei 1889. Ia merupakan seorang keturunan bangsawan, yaitu cucu dari Kanjeng Gusti Pangeran Soerjo Sasraningrat (Paku Alam ke III), dan ayahnya bernama G.P.H. Soerjaningrat.

Meskipun Soewardi Suryaningrat berasal dari kalangan ‘darah biru’, namun ia merasa tidak nyaman dengan adanya gelar pada namanya tersebut. Setidaknya hal itu ia rasakan setelah ia membentuk sebuah yayasan pendidikan yang dinamakan Taman Siswa pada tahun 1922. Menurutnya, gelar tersebut mengganggu interaksinya dengan siswa-siswa, sehingga ia memutuskan untuk menanggalkan gelar kebangsawanannya itu dan akhirnya memilih memakai nama Ki Hadjar Dewantara.

Tidak hanya itu, dalam sebuah kongres, Ki Hadjar Dewantara berpidato bahwa siapa saja yang berada di dalam lingkungan Taman Siswa, yang memiliki gelar harus dihilangkan. Bahkan sampai nama istri Ki Hadjar Dewantara pun juga ikut berubah, yang tadinya bernama Raden Ajoe Soetartinah kemudian berubah menjadi Nyi Hadjar Dewantara. Sampai saat ini, sebutan “Ki” dan “Nyi” masih berlaku bagi seluruh pengurus Taman Siswa di seluruh Indonesia.   

Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara diakui kehebatannya oleh berbagai pihak, salah satunya juga diakui dan diterapkan oleh Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Pengakuan tersebut diperkuat dengan pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan tiga tahun lalu dalam pidatonya bertajuk “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia”, yang mengatakan bahwa adanya kesamaan konsep pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu menempatkan pendidikan secara proporsional, kesetaraan pendidikan bagi semua rakyat, menolak standarisasi kaku dan berlebihan karena dianggap menjadi musuh kreatifitas, serta mendukung aktifitas bermain sebagai tuntutan jiwa anak.

Berbicara mengenai Ki Hadjar Dewantara tidaklah melulu soal konsep pendidikannya. Ada hal lain yang bisa digali dari sosok Ki Hadjar Dewantara, salah satunya adalah teladan akan kesederhanaan.
Dari kisah di atas terlihat bagaimana kesederhanaan Ki Hadjar Dewantara yang memilih untuk menyamakan kedudukannya dengan murid-muridnya yang rata-rata adalah anak petani, dan anak guru. Ki Hadjar Dewantara melepaskan segala bentuk kemewahan keturunan bangsawan yang ia peroleh agar bisa lebih dekat dengan murid-muridnya.

Contoh lain dari kesederhanaan seorang Ki Hadjar Dewantara adalah ketika ia memutuskan untuk menghibahkan rumah miliknya untuk diajdikan sebuah museum. Menurut penuturan Staff Teknis dan Pemandu Museum Dewantara Kirti Griya (Museum DKG), Agus Purwanto, menyebutkan Rumah yang saat ini menjadi lokasi Museum DKG tersebut awalnya dibeli dari seorang janda yang suaminya dulu berasal dari Eropa.

Pada saat itu Taman Siswa sedang berkembang pesat, hal itu menyebabkan rumah Ki Hadjar Dewantara yang berada di Jalan Tanjung (kini menjadi Jalan Gadjah Mada) tidak lagi muat menampung para siswa. Sehingga pertimbangan itulah yang menyebabkan Ki Hadjar Dewantara memutuskan membeli sebuah rumah dengan lahan yang luas. Di atas lahan itulah kemudian dibangun sebuah pendopo, dan dibuatkan persekolahan yang dijadikan satu komplek.

Rumah tersebut secara resmi ditempati pada tahun 1938 oleh Ki Hadjar Dewantara dan keluarganya. Ki Hadjar Dewantara terus mengembangkan Taman Siswa hingga akhirnya ia wafat pada 26 April 1959. Taman Siswa kemudian diteruskan oleh istrinya, yaitu Nyi Hadjar Dewantara yang menjadi pimpinan pusat Taman Siswa hingga akhir hayatnya 16 April 1971. Pada akhirnya rumah tersebut diresmikan sebagai museum pada 2 Mei 1970 oleh Presiden Kedua Indonesia, Soeharto.

Sepeninggal Nyi Hadjar Dewantara, Museum diserahkan kepada Persatuan Taman Siswa. Uniknya, tidak ada satupun keturunan dari Ki Hadjar Dewantara masuk ke dalam pengurus yayasan Taman Siswa, baik sebagai anggota maupun pimpinan. Hal itu dibenarkan oleh Agus Purwanto.
“Tidak ada keturunan Ki Hadjar Dewantara yang jadi pimpinan Taman Siswa. Rupanya itu sudah dikehendaki oleh Ki Hadjar Dewantara, beliau tidak menginginkan itu,” ujar pria yang sudah bekerja di Museum DKG sejak tahun 1993 tersebut.

Entah apa yang ada dipikiran Ki Hadjar Dewantara saat itu sehingga memilih untuk tidak mewariskan Taman Siswa kepada keluarganya dan lebih memilih menyerahkan kepada yayasan Taman Siswa. Padahal Ki Hadjar Dewantara adalah keluarga besar yang memiliki banyak anak, namun ia tidak sampai memikirkan keturunannya harus menjabat di Taman Siswa, bahkan ia pun rela menghibahkan rumahnya tersebut untuk dijadikan museum.

Pada 2015 silam, terdengar kabar bahwa Pemerintah Belanda ingin mengabadikan nama Ki Hadjar Dewantara menjadi nama jalan di negara kincir angin tersebut. Namun permintaan tersebut ditolak baik oleh pihak Yayasan Taman Siswa maupun oleh pihak keluarga.

Agus bercerita, Ki Hadjar Dewantara pernah berpesan bahwa ia tidak ingin namanya digunakan sebagai nama bangunan, nama gedung, maupun nama jalan. Ki Hadjar Dewantara khawatir hal tersebut dimaksudkan untuk mengkultuskan seseorang. “Prinsipnya Ki Hadjar Dewantara melarang nama beliau dipakai untuk apa saja,” kata Agus.

Selain kesederhanaannya, Ki Hadjar Dewantara juga dikenal sebagai sosok yang humoris. Meskipun ia seorang yang tegas, dan keras, namun ada sisi humoris yang terselip dalam pribadi Ki Hadjar Dewantara.

Suatu hari Ki hadjar Dewantara sedang mencangkul di sekitaran rumahnya, saat itu ia hanya mengenakan sarung dan berkaos oblong. Tiba-tiba ada seorang tamu datang dan ingin bertemu dengan Ki Hadjar Dewantara. Tamu tersebut tidak mengetahui bahwa yang menjadi lawan bicara ketika itu adalah orang yang ia cari. Maka dengan segera Ki Hadjar Dewantara menyuruh tamu tersebut menunggu. Kemudian Ki Hadjar Dewantara masuk dan berganti pakaian untuk menemui tamu tersebut.

Cerita tersebut diperoleh Agus dari Nyi Iman Sudiyat, salah satu saksi sejarah yang masih sering menceritakan kembali kesehariannya dulu bersama Ki Hadjar Dewantara. Nyi Iman Sudiyat adalah teman dari putri Ki hadjar Dewantara sewaktu masih tinggal di pondok Taman Siswa dulu.
“Waktu itu ruangan perpustakan tersebut adalah pondokan putri,” cerita Agus seraya menunjuk bangunan perpustakaan.

Tentu masih banyak lagi inspirasi yang bisa diperoleh dari seorang Ki hadjar Dewantara. Selain semangatnya dalam melawan penindasan terhadap penjajahan, kesederhanaan dalam diri beliau patut diteladani. Persis seperti bunyi salah satu triloginya Ing Ngarsa Sung Tulada yang artinya “Di Depan Memberi Contoh”. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya memberi contoh, tetapi justru menjadi contoh bagi banyak orang. (Febrianto Adi Saputro)  

Wednesday, January 4, 2017

Fenomena Pengangguran Terdidik dan Problematikanya

Data mengenai tidak terserapnya tenaga kerja dengan maksimal di tengah kualitas pertumbuhan ekonomi yang dinilai stabil ternyata cukup mengejutkan. Data tersebut dipaparkan oleh Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan dalam artikel yang ditulis di laman resmi DPR (http://dpr.go.id/berita/detail/id/15112). Mantan Wakil Ketua Komisi tersebut mengatakan bahwa presentase pekerja masih didominasi oleh pekerja dengan pendidikan rendah, yaitu sebesar 60,24%. Disusul pekerja dengan pekerja dengan pendidikan menengah sebesar 27,24%, dan terakhir pekerja dengan pendidikan tinggi sebesar 12,24%.

Data di atas menunjukkan fakta menarik bahwa 50% jumlah penduduk masih bekerja di sektor informal. Heri menambahkan, “Ironisnya, sektor tersebut juga mulai dimasuki oleh tenaga kerja asing asal Tiongkok yang ilegal”. Tingkat penyerapan tenaga kerja industri juga mengalami penurunan dari 15,97 juta pada bulan Februari menjadi 15,54 pada bulan Agustus. Ditambah lagi invasi tenaga kerja asing yang mungkin akan terus berdatangan ke Indonesia dan persaingan Sumber Daya Manusia (SDM)  di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi ancaman serius bagi calon tenaga kerja.

Salah satu penyebab banyaknya pengangguran bagi mereka yang berpendidikan tinggi yaitu tidak adanya lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang mereka pilih selama kuliah. Banyak jurusan-jurusan yang disediakan oleh universitas di Indonesia, namun dalam kenyataannya, di dunia kerja malah tidak tersedia. Alhasil ilmu yang dipelajari selama kuliah justru tidak bisa dipraktekkan di dunia kerja. Tidak jarang dari mereka justru bekerja di bidang yang berbeda dari apa yang mereka pelajari di bangku kuliah. Hal semacam ini sering dijumpai di industri bank yang kerap membuka lowongan untuk semua jurusan.

Selain itu, idealisme dan sifat pilih-pilih juga masih menjadi karakter yang dominan bagi para lulusan baru di negeri ini. Sifat memilih-milih pekerjaan memang tidak salah, karena memang kenyataannya para pencari kerja selalu disuguhkan pada posisi yang tidak jauh-jauh dari sales dan marketing. Bagi mereka yang lulusan SMP kebawah tidak mempersoalkan posisi tersebut karena mereka cenderung mau menerima pekerjaan apapun, sedangkan situasi berbeda bagi mereka lulusan perguruan tinggi, yang cenderung mencari pekerjaan yang lebih sesuai.

Persoalan lainnya adalah adanya mindset yang telah berlaku secara umum di masyarakat tentang pekerjaan tertentu. Contoh, Mindset tentang pekerjaan sales yang selalu identik dengan pekerjaan door to door. Kemudian mimpi bekerja di perusahaan besar yang bergengsi dengan posisi yang menjanjikan jenjang karir masih menjadi patokan kesuksesan banyak orang. Mindset inilah yang harus diubah agar tidak semakin banyak lagi pengangguran terdidik.

Beberapa persoalan di atas bukan hanya menjadi tugas pemerintah, melainkan tugas semua warga negara dalam memerangi pengangguran yang semakin lama semakin memprihatinkan. Persoalan minimnya lapangan kerja meenjadi persoalan serius yang harus diselesaikan bersama, oleh karena itu perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak baik dari lembaga penyedia tenaga kerja, perusahaan dan industri, serta pemerintah. Seperti yang tertuang dalam Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.


Cimanggis, 4 Januari 2017