(Sumber Foto: Kompas.com) |
Menjelang akhir tahun 2016 menjadi hari-hari yang cukup melelahkan bagi bangsa ini. Peristiwa demi peristiwa telah menyita cukup banyak perhatian masyarakat, seperti provokasi, ujaran kebencian, kalimat-kalimat tendensi, berita palsu (Hoax), dan makian, telah mewarnai lini masa media sosial. Tidak jarang satu sama lain saling menghapus pertemanan hanya karena perbedaan pandangan. Menjamurnya ahli agama dan ahli tafsir dadakan, hadir seakan-akan kemampuannya melebihi seorang agamawan, dan masyarakat seolah menikmati perdebatan soal agama yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan.
Pada tanggal
23 Desember 2016 telah diselenggarakan peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur di
kediaman Keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan. Kegiatan tersebut dihadiri
beberapa tokoh nasional seperti Presiden RI Joko Widodo, Kapolri Jenderal Tito
Karnavian, Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri
Sosial Khofifah Indar Parawansa, Calon Gubernur DKI Jakarta; Agus Harimurti
Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama, dan Anis Baswedan, serta para tokoh agamawan
seperti Ketua NU Said Aqil Siroj, Ketua KWI Ignatius Suharyo, Pendeta SAE
Nababan, Perwakilan dari Umat Budha Banthe Suryanadi Mahatera, Perwakilan
Parisada Hindu Dharma Indonesia Yanto Jaya, serta kelompok penghayat
kepercayaan.
Peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur nampak menjadi angin segar ditengah hiruk-pikuknya kondisi bangsa yang dinamis. Melalui peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur tersebut kita diajak mengingat kembali sosok yang selalu menyerukan sikap inklusif dan pentingnya dialog antar umat beragama. Peringatan tersebut penting untuk dijadikan momentum bagi kita secara pribadi untuk introspeksi diri apakah kita sudah cukup baik sebagai manusia yang beragama?, atau justru lebih buruk dari mereka yang tidak beragama? Apakah semata-mata beragama itu justru hanya membela agama saja, bukan membela mereka yang tertindas oleh penguasa atau mayoritas? Tentu kita juga harus bertanya kepada diri sendiri apakah selama hidup ini kita bermanfaat bagi orang lain, terutama dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita? Pertanyaan inilah yang harus kita tanyakan pada hati nurani masing-masing pribadi.
Peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur nampak menjadi angin segar ditengah hiruk-pikuknya kondisi bangsa yang dinamis. Melalui peringatan Tujuh Tahun Haul Gus Dur tersebut kita diajak mengingat kembali sosok yang selalu menyerukan sikap inklusif dan pentingnya dialog antar umat beragama. Peringatan tersebut penting untuk dijadikan momentum bagi kita secara pribadi untuk introspeksi diri apakah kita sudah cukup baik sebagai manusia yang beragama?, atau justru lebih buruk dari mereka yang tidak beragama? Apakah semata-mata beragama itu justru hanya membela agama saja, bukan membela mereka yang tertindas oleh penguasa atau mayoritas? Tentu kita juga harus bertanya kepada diri sendiri apakah selama hidup ini kita bermanfaat bagi orang lain, terutama dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita? Pertanyaan inilah yang harus kita tanyakan pada hati nurani masing-masing pribadi.
Kini tujuh tahun
sudah Gus Dur tiada, hingga saat ini belum ada lagi sosok yang sama apalagi melebihi kelucuan Gus Dur menghadapi persoalan bangsa yang kian semrawut. Tujuh tahun sudah seorang Guru
Bangsa telah pergi. Tokoh yang mengajarkan indahnya toleransi, serta memandang
kemajemukan bukan sebagai halangan, melainkan rahmat dari Tuhan yang harus
disyukuri. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan, bukanlah sebuah ketakutan
yang harus dijauhi. Ubah segala bentuk ungkapan kebencian
dan menjembatani perbedaan pandangan dengan dialog yang menyejukkan. Bukankah
itu yang menjadi cita-cita Gus Dur dan kita semua sebagai bangsa yang majemuk?