Sumber Foto: Instagram/Tempodotco |
Apa
yang anda bayangkan ketika mendengar kata “Papua”? Apakah masih ada kesan yang jauh dari
kesan positif, seperti daerah yang pelosok/terpencil, orang-orang primitif,
minimnya fasilitas, dan segala hal lainnya yang berkaitan dengan SARA? Jika ya,
cobalah anda datang ke Ground Floor (GF)
Kuningan City, Jakarta Selatan. Anda akan diajak untuk melihat Papua dari sisi
yang berbeda.
Pada
tanggal 27 – 30 Desember 2016, Tempo, bersama KontraS, dan VOTE (Voice From The East) mengadakan sebuah pameran
foto dengan tema “Suara dari Timur: Papuaku, Papuamu?” yang diselenggarakan di
Kuningan City, Jakarta Selatan. Beberapa pembicara juga diundang untuk hadir
dalam rangkaian acara tersebut antara lain Haris Azhar (KontraS), Arif Zulkifli
(Tempo), Glen Fredly, Advokasi Masyarakat Adat, dan beberapa media, kurator, serta
fotografer yang ikut berperan dalam proses pengambilan foto tersebut.
Semua
foto yang dipamerkan pada pameran kali ini adalah hasil jepretan dari delapan fotografer Tempo, antara lain Rully Kesuma,
Subekti, Tony Hartawan, Dhemas Revianto, M. Iqbal Ichsan, Dian Triyuli H, Frannoto,
Pius Erlangga, dan Amston Probel sebagai koordinator. Foto tersebut diambil
dari beberapa lokasi di Papua, diantaranya di Timika, Biak, Nabire, Boven
Digoel, Fak-Fak, Raja Ampat, Yahukimo, dan Merauke. Pameran tersebut tidak
hanya bertujuan untuk mengabadikan realitas kehidupan masyarakat Papua, namun
juga bertujuan untuk menyampaikan pesan damai, kemanusiaan, dan optimisme bahwa,
asa, sukacita dan perdamaian adalah sesuatu yang mungkin terjadi di Papua.
Media
kerap kali memberitakan Papua tentang kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM), dan separatisme. Pemberitaan demi pemberitaan negatif semakin
memperlebar jarak persepsi positif kita mengenai Papua. Padahal ada banyak
pelajaran hidup yang dapat kita ambil dari kesederhanaan kehidupan masyarakat
Papua melalui kearifan lokal yang mereka miliki.
Infrastruktur
memang menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat Papua, namun ada yang lebih
penting dari sekedar pembangunan infrastruktur semata, yaitu sebuah pengakuan, baik
dari pemerintah maupun seluruh komponen masyarakat Indonesia, serta kemauan
untuk membangun potensi SDA dan SDM yang ada di Papua untuk kepentingan masa
depan mereka. Inilah yang mengakibatkan Papua ingin sekali merdeka dari
Indonesia, karena masyarakat Papua menganggap bahwa pemerintah Indonesia tidak memperlakukan
mereka seperti wilayah lain di Indonesia.
Mulai
saat ini, mari kita ubah cara pandang kita menatap Papua. Papua juga merupakan bagian
dari bangsa Indonesia. Kalau dulu Soekarno memperjuangkan Papua dari Belanda, maka
sekarang adalah tugas kita sebagai penerus bangsa untuk memperjuangkan nasib
rakyat Papua agar tetap menjadi bagian dari Indonesia. Mulailah dari hal yang
paling sederhana, jadikanlah mereka teman, buat mereka nyaman. Jangan ada lagi
diskriminasi, dan intoleransi. Perlahan namun pasti, asa akan terus ada di bumi
cenderawasih.
Cimanggis, 27 Desember
2016
No comments:
Post a Comment